Mahasiswa/Aktivis Perubahan dan Perilaku Korupsi

Oleh : Andrei Utama

Aktivis Pemuda Sumsel

Mahasiswa/aktivis dalam kapasitasnya sebagai ‘agent of change’ dikatakan sebagai peserta didik yang kritis terhadap apa yang tejadi di sekitarnya. Namun, bukankah yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Mahasiswa/aktivis sekarang memang kritis, tetapi hanya sedikit dari orang-orang kritis tersebut yang melakukan tindakan, lainnya hanya Retorika.

Mahasiswa/aktivis adalah orang yang menghendaki perubahan, maka mahasiswa dan aktivis lah yang harus melakukan perubahan itu sendiri. Mahasiswa/aktivis harus menjadi pelopor pergerakan untuk kemajuan bangsa dan Moment Pemilu 2019 sebagai Pintu.

Sejarah mencatat bahwa mahasiswa dan Aktivis merupakan inisiator berbagai peristiwa penting yang menentukan nasib bangsa Indonesia. Pergerakan Budi Utomo (1908), Sumpah Pemuda (1928), proklamasi kemerdekaan (1945), sampai dengan pergerakan mahasiswa untuk reformasi (1998). Itu adalah deretan peristiwa penting yang digawangi oleh pemuda,mahasiswa/aktivis.

Mahasiswa/Aktivis sebagai kaum intelektual tentu mempunyai tanggung jawab untuk mencerdaskan masyarakat dan sebagai Pilar bangsa. Pengetahuan yang dimiliki harus dijadikan motivator untuk menerobos kebiasaan buruk yang berkembang di dalam masyarakat. Namun kini, banyak mahasiswa dan aktivis yang mengaku aktivis, tetapi berkelakuan jauh dari cerminan aktivis yang menginginkan perubahan.

Kebanyakan mahasiswa dan aktivis mampu mengkritik sistem pemerintahan, namun lupa menerapkan apa yang disuarakan itu terhadap Pribadi masing2.

Coba kita lihat, banyak mahasiswa/aktivis bersuara dan mengatakan antikorupsi, namun perilaku selalu identik dengan korupsi. Tidak jarang pula mahasiswa/aktivis menuntut transparansi informasi terhadap badan publik.

“Pejabat Anti-Kritik”

Melihat realita aktivis/mahasiswa masa kini, tidak heran rasanya bila banyak pejabat anti kritik dan bungkam terhadap aspirasi yang disuarakan. Kalimat pembelaan dari pejabat begitu sering didengar, namun apa yang dijanjikan urung terlaksana. Bagi aktivis/mahasiswa, tentu sudah sering mendengar bagaimana pejabat mengaku pernah menjadi seorang aktivis.

“Dulu saya juga aktivis sama seperti adek-adek, jadi saya mengerti apa yang adek-adek inginkan” lebih kurang demikian kalimat sakti milik mantan aktivis mahasiswa yang menduduki jabatan publik. Mengapa mantan aktivis mahasiswa yang dulu selalu berkoar-koar menyuarakan suara rakyat malah ikut bermain ? Hal ini terjadi akibat ideologi setengah matang yang diterapkan selama menjadi mahasiswa dan aktivis.

Hal itu pula yang menyebabkan banyak koruptor yang mengaku dahulu merupakan aktivis mahasiswa. Oleh karenanya, hal itu juga memberikan efek negatif terhadap tempat ia bernaung sewaktu mahasiswa. Dikutip dari data Indonesia Coruption Watch 2016, dapat diambil beberapa kesimpulan penting kajian tren korupsi 2015, dapat dilihat bahwa jumlah kasus korupsi selama tahun 2015 adalah sebanyak 550 kasus korupsi pada tahap penyidikan yang ditangani Aparat Penegak Hukum (APH) dengan total tersangka sebanyak 1.124. Adapun total potensi kerugian negara dari seluruh kasus tersebut sebesar Rp 3,1 triliun dan nilai suap sebesar Rp 450,5 miliar.

Dalam  kajian tren korupsi ICW sebelumnya, total kasus yang berhasil dipantau selama tahun 2010 hingga 2014 adalah sebanyak 2.492 kasus dengan total nilai kerugian negara sebesar Rp 30 triliun dan nilai suap sebesar Rp 549 miliar. Dan tentu saja, banyak dari pelaku korupsi yang tertangkap itu merupakan mantan aktivis/mahasiswa. Dahulu sewaktu menjadi mahasiswa selalu berkoar-koar dan mengkritik kebijakan. Sedikit saja ada kesalahan dari pemerintah, langsung beraksi dengan fatwa-fatwa dan nyanyian-nyanyian revolusi. Bahkan setiap suara yang disuarakan merupakan suara rakyat yang tertindas akibat kebijakan tersebut. Namun semangat revolusioner itu seolah lenyap tanpa bekas tatkala mendapat jabatan penting di pemerintahan.

“Perlu Berbenah”

Mahasiswa/aktivis harus mengingat kembali peran utamanya sebagai bagian dari kaum intelektual. Peran utama dari mahasiswa menurut “Arbi Sanit” ialah “membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap kelalaian penguasa di dalam tugasnya menyelenggarakan pemerintahan atas nama rakyat”.

Tugas dari mahasiswa/aktivis itu sendiri sebagai agent of change adalah memberikan contoh yang baik kepada masyarakat.

Dan Saya sangat mengharapkan Pada Pileg 2019 ini Semoga temen temen aktivis yang mempunyai integritas Bisa masuk Terpilih mewakili rakyat di legislatif dan sebagai agent of change.

Oleh: Andrei utama

Aktivis Pemuda Sumsel

Bagikan :

Pos terkait