Selama ini, petani Aceh Tamiang memiliki kerja sama dengan petani di Sumatera Utara, khususnya tentang penggunaan combine harvester.
“Jadi yang digunakan selama ini mesin dari Medan, ada kerja sama, sepertinya menggunakan kontrak. Sebaliknya juga begitu, ada mesin yang digunakan di Sumatera Utara,” kata dia.
Persoalan muncul ketika musim panen padi di Sumut dan Aceh Tamiang serentak.
Stok mesin pemotong padi yang sejak awal memang minim menyebabkan sebagian areal terlantar.
“Janganlah sampai dibilang ada kecurangan, kasihan petani kita. Kondisi hari ini bisa dibilang kita tidak memiliki mesin. Kami sangat berharap dana aspirasi dewan dicurahkan untuk pengadaan mesin ini,” katanya.
Kendala utama pengadaan mesin ini disebutnya soal harga. Untuk mendatangkan satu unit mesin pemotong padi paling minimal membutuhkan anggaran Rp 400 juta.
“Harganya sangat mahal, paling murah itu Rp 400 jutaan. Jadi janganlah dipolitisir,” kata dia.
Dia menambahkan, setidaknya Aceh Tamiang saat ini membutuhkan 20 unit mesin combine harvester.