Reporter : Edo
SULBAR, Mattanews.co -Tenaga medis yang berada di garda terdepan yang berinteraksi langsung dengan pasien positif terjangkit virus Covid-19, dihadapkan pada tingginya risiko terpapar pandemi tersebut.
Namun hal itu tidak menyurutkan semangat tenaga medis merawat dan memberikan dukungan moril pada pasien. Mereka tetap berjibaku di dalam ruang isolasi.
Ernawanty. AR, Amd.Keb, seorang perawat pasien covid-19 di RS Regional Sulbar, menuturkan kisah suka dan dukanya menjadi seorang perawat pasien yang terjangkit covid-19.
Meski asa rasa takut dan was-was, namun demi kemanusiaan, Ernawanty memberanikan dirinya menjadi tim medis penanganan pasien isolasiĀ covid-19.
“Meskipun kami terkadang diselimuti rasa takut dan was-was, tapi kami senang merawat pasien yang terjangkit covid-19,” tulis Ernawanty via WhatsApp. Jum’at (19/6/2020).
“Karena kami merasa kamilah satu-satunya keluarga mereka, orang yang mereka butuhkan,” ujarnya.
“Dengan teman perawat lain, kami juga seperti saudara sendiri, saling support saat teman-teman diruangan lain jaga jarak degan kami, itu sukanya,” sambung Erna.
Ernawaty juga menuturkan dukanya menjadi perawat pasien yang terjangkit covid-19, dimana dijauhi semua orang, teman, keluarga, tetangga kecuali suami dan anak-anak.
“Di luar sana, mereka menganggap kami sengaja menahan pasien karena nominal-nominal insentif yang mereka pikirkan,” ucapnya.
“Mereka tidak pernah berpikir dan bersyukur keluarga mereka kami rawat baik-baik,” lanjutnya.
“Pasien covid kami rawat, bagaimana jika tidak ada yang merawat mereka dan kalian semua terinfeksi ?,” tanya Erna.
“Belajarlah menghargai jerih payah dan ketulusan kami, janganlah akal sehat kalian tertutupi oleh nilai insentif kami yang sampai hari inipun, kami belum tau memang ada atau tidak insentif itu,” ungkap Ernawanty.
“Kadang bukan hanya caci maki yang kami dapatkan dari keluarga pasien, tapi juga ancaman,” terangnya.
“Walaupun begitu kami tidak peduli, terserah kalian mau maki kami sampai capek pun silahkan,” ungkapnya.
“Kami hanya ingin merawat keluarga kalian, teman kalian, saudara, tetangga sampai sembuh dan kembali ke tengah keluarga kalian itu,” ucap Ernawaty.
Menjadi tenaga medis sangat berdampak terutama ibu-ibu perawat, seperti dirinya.
Anak jadi kurang kasih sayang, walaupun dititipkan ke keluarga. Pengeluaran lebih besar karena harus menyewa pengasuh.
Rindu anak dan keluarga pasti dan setiap kali vc anak pasti nangis suruh pulang. Bila libur dan dapat ijin pulang liat anak, diliati tetangga seakan-akan kami terinfeksi virus.
Bukan cuma tetangga yang begitu, keluarga dan teman-teman diruangan lain juga menjauhi kami. Intinya ruang gerak kami terbatas.
“Kami yang punya anak balita, karena tidak pulang selama pandemi ini, anak-anak kami tidak mengenali wajah kami lagi,” bebernya.
Di lingkungan sekitar lanjutnya, baru muncul sudah diteriaki ‘virus..!’ kadang dibawa bercanda tapi kami tau dan ngerti serta memaklumi, wajar mereka bersikap seperti itu.
“Jujur kami sudah swab, tapi kami juga was-was jika pulang ke rumah. Takut virus itu ikut tanpa disengaja. Tapi rindu itu Berat,” ujarnya.
Tak sampai di situ alumni Universitas Indonesi Timur (UIT) Makassar 2008 silam jurusan kebidanan ini mengaku, ada rasa khawatir saat dirinya daftar menjadi tim medis pasien covid-19.
“Khawatirlah, tapi karena tidak ada yang mau daftar karena alasan takut dan dilarang keluarga, akhirnya saya maju demi kemanusiaan,” ungkap Erna
Malam daftar besok subuh langsung ada absen, karena pasien sudah ada. Pulang rumah langsung disuruh mandi lagi, padahal sudah mandi dan keramas waktu mau pulang kerumah.
“Terus disuruh jangan lama-lama dirumah jangan terlalu dekat degan anak-anak,” kata Erna.
“Intinya kami bangga menjadi garda terdepan yang berinteraksi langsung dengan pasien yang terjangkit covid-19, meskipun lebih banyak dukanya daripada sukanya,” tutupnya.
Editor : Fly