MATTANEWS.CO, OKI – Puluhan warga Desa Gajah Makmur akhirnya mengambil alih tanah mereka sendiri setelah 12 tahun menanti program plasma yang tak kunjung nyata. Mereka lelah menunggu. Yang tersisa kini hanya cangkul, harapan, dan tanah yang kembali digarap dengan tangan sendiri.
Diketahui dari 440 sertifikat milik warga, sebanyak 92 pemilik sertifikat mengajukan diri mundur dari anggota koperasi yang selama ini diharapkan menjadi fasilitator antara warga dan perusahaan. Sikap perusahaan yang berlaku tidak profesional menjadi alasan mundurnya mereka. Saat ini mereka bertekad menentukan nasibnya sendiri dengan menempati lahan milik mereka yang dulu sempat terbelengkai.
Pagi itu, matahari belum tinggi. Embun masih menyelimuti semak dan ilalang yang tumbuh liar di atas lahan tidur itu. Puluhan warga Desa Gajah Makmur, Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, berdiri di atas tanah yang dulunya mereka serahkan untuk program plasma. Kini mereka kembali, bukan untuk menagih janji, tapi untuk menanaminya sendiri.
Suryanto memegang sebilah cangkul. Bersama beberapa warga lain, ia memasang patok-patok kecil sebagai penanda batas lahan. Patok sebagai tanda telah ditancap ke tanah. Seiring tumbuh harapan baru,
“Kami sudah terlalu capek menunggu. Selama 12 tahun lebih kami percaya, tapi tidak ada hasilnya sama sekali,” ujarnya Kamis, (10/7).
Diungkapkan dia, sejak 2013, warga menyerahkan lahan mereka kepada perusahaan perkebunan sawit PT Russelindo Putra Pratama (PT RPP) dengan harapan akan dilibatkan dalam skema plasma. Sebagai syarat kerja sama, sejak tahun 2017 lalu perusahaan meminta agar warga menyerahkan sertifikat hak milik. Total ada 440 sertifikat atau 440 hektar yang hendak dijadikan perkebunan plasma.
Menurut kesepakatan awal, setelah proses land clearing, lahan akan ditanami dan hasilnya dibagi sesuai skema. Tapi hingga hari ini, yang tumbuh hanyalah ketidakpastian. Tidak ada proses tanam, tidak ada panen, tidak ada pembagian hasil. Hanya lahan kosong yang semakin tertutup semak.
“Katanya mau diberdayakan. Tapi jangankan pohon sawit, jejak proses perkebunan plasma pun tidak kelihatan lagi,” ungkapnya.
Cerita ironis membuat hati warga makin perih, keberadaan koperasi Karya Makmur yang seharusnya membela dan mengawal kepentingan mereka, justru tak menunjukkan keberpihakan. Koperasi tersebut tidak sebagus namanya. Sejatinya, berkarya untuk menciptakan kemakmuran. Malah berlaku sebaliknya.
Ketua koperasi Edi Agusmanto, hingga kini belum juga memberikan keterangan meski telah diminta klarifikasi. Permintaan konfirmasi telah dilayangkan melalui pesan obrolan singkat tidak kunjung di respon.
Langkah warga menduduki kembali lahannya bukan tanpa pertimbangan. Mereka sudah melayangkan protes berkali-kali. Bahkan, pada 26 Juni lalu, aksi damai digelar di depan kantor plasma PT RPP di Desa Gajah Makmur. Namun tidak ada hasil. Tidak ada jawaban. Dan tetap tidak ada solusi.
Kini warga berbalik arah. Kali ini bukan lagi meminta, tapi merebut kembali hak yang mereka yakini sah. Mereka memilih mengubah lahan itu menjadi sawah. Bertekad menjadikan lahan produktif itu sebagai harapan masa depan mereka.
“Karakter tanah ini cocok untuk ditanam padi. Kalau perusahaan tidak bisa memberdayakan, biar kami sendiri yang hidup dari sini,” kata Suryanto.
Di benak mereka, mungkin masih terngiang satu tanya: apa artinya jadi pemilik tanah jika tanah itu tak bisa diakses, bahkan oleh mereka sendiri. Ketidakadilan diperlakukan sebagai pemilik tanah yang terdokumentasi dan diakui negara, memicu tekad untuk tidak lagi bergantung pada perusahaan.
Suryanto memandang sawah yang baru digarap dengan mata basah. Lalu ia kembali mengayunkan cangkulnya. Tanah itu memang miliknya dan warga lainnya. Dan ia sudah terlalu lama disuruh menunggu di luar pagar. Dipaksakan menerima janji manis perusahaan,
“Ini bukan cuma soal ekonomi semata. Ini soal harga diri dan nasib kami ke depan. Padahal tanah itu dulunya diserahkan atas dasar kepercayaan. Namun percuma bila hanya niat tanpa usaha yang pasti. Tidak akan berhasil,” ungkapnya.
Lembaga Investigasi Negara (LIN) Kabupaten Ogan Komering Ilir Hamadi, yang ditunjuk warga sebagai pendamping menyebut kondisi ini sebagai bentuk kelalaian perusahaan yang dikhawatirkan akan memicu konflik agraria berkepanjangan.
Menurutnya, permintaan warga bukanlah perkara mengada-ada. Warga hanya ingin kejelasan. Tapi kemudian hari, yang didapat hanyalah pengabaian.
“Kalau warga kecewa, hingga akhirnya memutuskan mematok lahan seperti sekarang itu karena sudah cukup terlalu sabar. Bahkan mereka tidak menuntut ganti rugi atas kelalaian perusahaan. Permintaan warga hanya kembalikan sertifikat tanahnya saja,” ujarnya.
Ia meminta Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir agar dapat memberikan perhatian. Apalagi para warga ini adalah bagian dari masyarakat yang taat membayar pajak dan aktif mendukung pembangunan daerah.
Di tengah gempuran retorika tanggung jawab sosial perusahaan yang selama ini menjadi narasi publikasi korporasi, tindakan PT RPP justru jadi kontras.
“Kami berharap Pemkab OKI hadir turut serta menyelesaikan persoalan ini. Walaupun kita tidak menginginkan terjadi, akan tetapi bila diabaikan bisa saja memicu terjadi konflik horizontal yang berkepanjangan,” kata Hamadi.
Lanjut Hamadi, kini warga Gajah Makmur kembali ke titik awal, dengan alat pertanian sederhana dan harapan yang mencoba bangkit dari jiwa yang rapuh. Mereka menggali tanah yang dulunya dijanjikan akan menjadi sumber kesejahteraan.
“Di saat warga menjerit, perusahaan memilih diam. Di saat tanah terbengkalai, nanti warga malah dituduh mengambil lahan secara sepihak. Cara seperti ini biasa terjadi. Selama ini sudah cukuplah warga mengalah,” tandasnya.














