MATTANEWS.CO, PALEMBANG – Nama PT Dizamatra Powerindo kembali menjadi sorotan, terkait isu lingkungan yang disebabkan dari aktivitas pengangkutan matrial batubara, berdampak langsung kepada masyarakat, jadi perhatian aktifis lingkungan dan SIRA Sumsel, Kamis (11/12/2025).
Perusahaan yang merupakan bagian dari Priamanaya Group ini telah meninggalkan jejak panjang persoalan, mulai dari lingkungan, penggunaan aset negara, hingga operasional yang dinilai tidak patuh terhadap aturan.
Persoalan pertama adalah pencemaran debu batu bara dari pelabuhan di Muara Belida, yang berkali-kali dikeluhkan warga Desa Patra Tani. Meski kompensasi sempat diberikan, warga menilai langkah tersebut tidak menyentuh akar masalah.
Kemudian, muncul dugaan penyerobotan tanah seluas 2.000 m² milik Pemerintah Provinsi Sumsel yang berada di bawah pengelolaan Sriwijaya Science Techno Park (SSTP). Lahan tersebut bertahun-tahun diduga digunakan sebagai akses menuju pelabuhan Dizamatra tanpa dasar izin yang jelas.
Pemerintah bahkan sempat mewacanakan skema sewa untuk “menyelesaikan” masalah tersebut, tetapi sejumlah anggota DPRD Sumsel mengaku tidak mengetahui rencana tersebut, sebuah indikator lemahnya pengawasan pemerintah terhadap perusahaan tambang besar.
Belum terselesaikan persoalan yang mengakar, kembali persoalan mobilisasi alat berat menuju site Dizamatra di Desa Kebur, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat kembali terjadi. Mobilisasi kendaraan berat tersebut dilakukan oleh PT.Putra Perkasa Abadi (PPA), yang kembali menjadi sorotan.
Dari informasi lapangan, sejumlah alat berat seperti Bulldozer D155, Excavator PC500, dan PC850 sudah dimobilisasi dan diduga melintasi jalan umum, tentu ini mengundang kembali kemarahan warga yang merasa jalur publik dijadikan “jalan tambang”.
Kecaman Aktivis dan Masyarakat: Siapkan Gelombang Aksi, melalui direktur Eksekutif Suara Informasi Rakyat Sriwijaya (SIRA), Rahmat Sandi menegaskan, bahwa penggunaan jalan umum untuk truk HD dan alat berat merupakan pelanggaran serius.
“Ini menyangkut keselamatan publik. Truk HD itu dibuat untuk jalan tambang, bukan jalan umum, disini Pemerintah jangan diam,” tegasnya.
SIRA bahkan menyatakan mendesak penghentian seluruh aktivitas Dizamatra, baik di Lahat maupun di kawasan Patra Tani, hingga perusahaan itu benar-benar patuh pada aturan.
“Sudah cukup kerusakan yang ditimbulkan, jika Dizamatra tidak mematuhi aturan, hentikan dulu aktivitasnya,” tegasnya.
SIRA bersama masyarakat Lahat dan Muara Enim, kini sedang menyiapkan gelombang aksi besar untuk menolak aktivitas Dizamatra yang dinilai merugikan lingkungan, masyarakat, bahkan pemerintah daerah.
Sementara tokoh masyarakat Muara Enim, Riswandar, menilai Dishub dan Satlantas telah kecolongan, berkaitan dengan mobilisasi alat berat yang disinyalir merusak infrastruktur.
“Kalau ada oknum yang memberi izin tanpa sepengetahuan Bupati, berhentikan. Fasilitas itu dibangun pakai uang rakyat,” tegasnya.
Di sisi yang lain, Pengamat Kebijakan Publik, Ade Indra Chaniago, menyebut fenomena ini sebagai bentuk pembiaran pemerintah.
“Peraturannya jelas melarang, tetapi tidak ada tindakan. Publik bertanya: perangkat pemerintah ini tidak bekerja atau sudah mendapat ‘sesuatu?, Tanpa keterbukaan, polemik ini akan semakin liar di masyarakat,” tutup Ade.














