BERITA TERKINIHUKUM & KRIMINAL

Mantan Dirjen Kemenhub RI Didakwa Rugikan Negara Rp 74 Miliar

×

Mantan Dirjen Kemenhub RI Didakwa Rugikan Negara Rp 74 Miliar

Sebarkan artikel ini

Terjerat Perkara Korupsi Pembangunan LRT Palembang

MATTANEWS.CO, PALEMBANG – Mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI, Ir. Prasetyo Boeditjahjono, yang terjerat dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan prasarana Light Rail Transit (LRT) Palembang, yang diperkirakan merugikan keuangan negara sebesar Rp 74 miliar lebih, jalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, dengan agenda pembacaan dakwaan dari JPU Kejari Palembang, Kamis (16/10/2025).

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Syahran Jafizhan dari Kejaksaan Negeri Palembang, bacakan amar dakwaan dalam sidang yang diketuai oleh majelis hakim Pitriadi SH MH, serta dihadiri terdakwa Ir.Prasetyo Boeditjahjono didampingi oleh tim penasehat hukumnya.

Dalam amar dakwaannya, JPU Kejari Palembang menjelaskan, bahwa terdakwa Prasetyo Boeditjahjono bertindak sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 28 Tahun 2016, diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam proyek pembangunan prasarana LRT Palembang.

Dalam dakwaannya, Prasetyo Boeditjahjono berkolusi dengan sejumlah pihak dari perusahaan pelaksana proyek, di antaranya Ir. Tukijo, MM (Kepala Divisi Gedung PT Waskita Karya 2015–2016), Ir. Ignatius Joko Herwanto, MM, Ir. Septiawan Andri Purwanto, serta Ir. Bambang Hariadi Wikanta, MM, MT (Direktur Utama PT Perentjana Djaja).

Mereka diduga melakukan rekayasa penunjukan penyedia jasa, dengan menetapkan PT.Perentjana Djaja sebagai pelaksana pekerjaan perencanaan teknis proyek pembangunan LRT tanpa melalui proses seleksi yang sah, jaksa juga mengungkap adanya pengondisian dan kesepakatan fee antara PT.Perentjana Djaja dan PT.Waskita Karya. Bahkan sebagian pekerjaan yang tertuang dalam kontrak tidak dikerjakan sebagaimana mestinya, sehingga bertentangan dengan peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

“Perbuatan terdakwa Prasetyo Boeditjahjono, telah melanggar prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 84 Tahun 2010 jo. Perpres Nomor 4 Tahun 2016,” urai JPU.

Akibat perbuatan terdakwa, negara mengalami kerugian sebesar Rp 74 miliar lebih dan tindakan tersebut dilakukan secara terencana dan berkelanjutan bersama sejumlah pihak terkait.

“Atas perbuatannya, terdakwa dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU yang sama, jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, jo Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana,” tegasnya.

Dalam fakta persidangan terdakwa Prasetyo Boeditjahjono mengungkap, bahwa saat ini dirinya sedang mengajukan proses hukum Kasasi, dalam perkara sebelumnya terdakwa Prasetyo Boeditjahjono terjerat dalam perkara dugaan korupsi pembangunan jalur kereta api Besitang–Langsa di Medan tahun 2017–2023, atas perbuatan tersebut terdakwa Prasetyo Boeditjahjono divonis dengan pidana penjara selama 7 tahun 6 bulan. Prasetyo Boeditjahjono merupakan mantan Dirjen Perkeretaapian Kemenhub RI periode 2016–2017.

“Saat ini kami sedang mengajukan proses hukum Kasasi yang mulia,” urai terdakwa.

Usai pembacaan dakwaan, tim penasihat hukum Prasetyo menyatakan akan mengajukan eksepsi (nota keberatan) dalam sidang yang akan digelar pada 30 Oktober 2025 mendatang.

Sementara itu saat diwawancarai melalui Grees Selly SH MH selaku penasehat hukum terdakwa Prasetyo Boeditjahjono mengatakan, bahwa tadi baru saja mendengarkan amar dakwaan dari JPU Kejari Palembang.

“Selanjutnya kami sebagai tim penasehat hukum terdakwa, akan mengajukan Eksepsi pada sidang selanjutnya,” terang Grees.

Saat ditanya terkait proses Kasasi yang telah diajukan oleh terdakwa, yang terjerat dalam perkara lainnya, apakah bisa terdakwa menjalani persidangan meski saat ini sedang mengajukan proses hukum lanjutan, Grees mengatakan, dalam perkara ini yang berwenang adalah JPU.

“Dalam prinsip hukumnya, kalau memang ada ditemukan ada perbuatan hukum atau tindak pidana yang lain setelah perkara terdahulu diputuskan bisa dilaksanakan pada saat putusan belum berkekuatan hukum tetap seperti sekarang ini, tapi tetap bisa dilanjutkan, klien kami ini sudah Sepuh, nanti akan kami kaji terlebih dahulu terkait penangguhan penahanan,” tutupnya.