Kemelut RSGM Sumsel: Ketika Sistem Baru, Dokter Sedikit, dan BPJS Membuat Pasien Terlantar (PART 2)
MATTTANEWS.CO, PALEMBANG – Antrean panjang di RSGM Sumsel hanyalah gejala dari masalah yang jauh lebih dalam. Akar masalahnya adalah krisis dokter gigi spesialis yang sudah berlangsung bertahun-tahun di Sumatera Selatan — bahkan di Indonesia.
Jumlah Dokter Terbatas, Beban Pasien Tak Masuk Akal
Saat ini, RSGM Sumsel hanya memiliki 7 dokter yang harus melayani ribuan pasien dari seluruh provinsi. Angka ini sangat tidak ideal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan rasio 1 dokter gigi per 7.500 penduduk. Dengan populasi Sumsel ±8 juta jiwa, kebutuhan idealnya mencapai sekitar 1.000 dokter, sementara yang tersedia hanya sebagian kecil dari angka itu.
Tidak heran antrean mencapai berbulan-bulan.
Setiap Dokter Hanya Boleh Layani 12 Pasien
Berdasarkan kebijakan BPJS dan standar pelayanan, satu dokter maksimal boleh melayani:
10 pasien BPJS,
2 pasien umum atau asuransi lain.
Artinya:
7 dokter × 12 pasien/hari = 84 pasien/hari.
Padahal sebelumnya, RSGM mampu menangani 300 pasien/hari.
Dengan sistem baru, daya tampung turun hampir 70%.
Mengapa Dokter Gigi Spesialis Sangat Langka?
Anggota DPRD Sumsel, David Al Jufri, menjelaskan bahwa pendidikan dokter gigi spesialis membutuhkan waktu 3–5 tahun, belum termasuk biaya besar dan kuota pendidikan yang terbatas.
“Untuk meningkatkan mutu pelayanan, kita butuh dokter spesialis lebih banyak. Tapi proses pendidikannya sangat lama,” ujarnya.
Fakta lapangan menunjukkan beberapa akar masalah:
1. Fakultas kedokteran gigi di Indonesia terbatas
Tidak semua FKGI membuka program spesialis secara lengkap.
2. Biaya pendidikan tinggi
Rata-rata biaya satu program spesialis mencapai ratusan juta rupiah.
3. Dokter enggan ditempatkan di daerah
Sebagian besar dokter spesialis memilih bekerja di kota besar.
4. Tidak ada program percepatan atau beasiswa berkelanjutan di daerah
Sumsel belum memiliki skema supply chain tenaga medis jangka panjang.
Dinkes Mengakui Masalahnya
Kadinkes provinsi, Trisnawarman, mengatakan pihaknya telah berupaya semaksimal mungkin.
“Tetap banyak pelayanan, tapi aturan BPJS,” tulisnya singkat melalui WhatsApp.
Saat ditanyakan terkait anggaran dari pihak Dinas Kesehatan sendiri terhadap RSCM. Dirinya mengaku akan melihat data kembali. Apakah ada pengurangan ataukah sama seperti tahun kemarin.
“Saya belum tahu pasti terkait anggaran nanti dicek, ” Jelas dia.
Jawaban ini menunjukkan bahwa pemerintah provinsi memiliki ruang gerak yang terbatas.
Apakah Solusi Ada?
Beberapa opsi yang dapat dilakukan:
Program beasiswa pendidikan spesialis yang ditanggung APBD.
Kerjasama dengan fakultas kedokteran gigi di provinsi tetangga.
Rekrutmen tenaga ahli secara kontrak.
Penambahan fasilitas dan ruangan praktik.
Menggandeng RS swasta untuk memperluas pelayanan BPJS.
Tanpa langkah strategis seperti ini, sistem antrean akan terus macet, berapa pun aplikasi pendaftarannya.
Penutup
Krisis tenaga medis adalah persoalan struktural yang tidak bisa diselesaikan dengan sekadar mengganti sistem pendaftaran. Pada seri terakhir, kita akan menelusuri bagaimana regulasi BPJS dan kebijakan kesehatan menjadi faktor yang memperumit pelayanan.














