Penulis : Nareswara Jati Kusuma
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM
Overview
Demokrasi sebagai sistem politik saat ini telah menjadi pilihan hampir seluruh negara di dunia. Demokrasi merupakan pilihan terbaik dalam menyelenggarakan politik dan pemerintahan, karena dengan demokrasi rakyat dapat turut serta dalam pemerintahan. Maka, muncul slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Demokrasi memberi peluang kepada warga negara untuk berperan dalam diskursus pembuatan kebijakan publik. Namun demikian, dalam kehidupan negara modern, tidak memungkinkan seluruh warga turut serta dalam pengambilan kebijakan publik, dengan demikian penting persoalan terkait keterwakilan dibicarakan.
Di Indonesia, demokrasi dan sistem perwakilan menjadi syarat agar semua kelompok masyarakat terwakili. Tujuannya agar dalam pengambilan keputusan tidak ada kelompok yang ditinggalkan. Namun sejak demokrasi dipraktekkan, DPR tidak bisa mewakili semua kelompok dalam masyarakat. Kenyataan ini, menurut Robert Dahl, mendorong parlemen sering mengeluarkan kebijakan yang mendiskriminasi kelompok masyarakat yang diklaim diwakilinya.
Membaca Representasi Lewat Hanna Pitkin
Pitkin memberikan definisi, “untuk mewakili hanyalah untuk menghadirkan kembali”. Representasi adalah yang membuat present again, membuat sesuatu hadir lagi dari satu ranah, hadir diranah yang lain. Pada pengertian ini, perwakilan politik adalah kegiatan membuat suara, pendapat, dan perspektif warga negara “hadir” dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Representasi politik terjadi ketika aktor politik berbicara, mengadvokasi, melambangkan, dan bertindak atas nama orang lain di arena politik. Dalam representasi ada 5 komponen, yaitu : (1) Beberapa pihak yang mewakili (perwakilan, organisasi, gerakan, lembaga negara); (2) Beberapa pihak yang diwakili (konstituen, klien); (3) Sesuatu yang diwakili (pendapat, perspektif, minat, wacana); (4) Pengaturan di mana kegiatan representasi berlangsung (konteks politik); (5) Sesuatu yang ditinggalkan (pendapat, minat, dan perspektif tidak disuarakan).
Kehidupan demokrasi sering kali bertentangan dengan konsep representasi. Studi representasi yang diungkapkan oleh Hanna Pitkin lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat konseptual dan teoritis. Pitkin mencoba menjelaskan mengenai korelasi antara representasi dan demokrasi.
Representasi telah bergeser dari kewajiban (zaman kerajaan Inggris) menjadi sebuah hak (melawan kesewenang-wenangan raja dan negara). Pitkin mengutip Hannah Arendt bahwa representasi yang benar-benar demokratis dapat diwujudkan melalui demokrasi yang partisipatif dan konkrit dari tingkat lokal. Melalui cara tersebut setiap warga negara akan belajar memahami kegelisahan yang dirasakan langsung oleh masyarakat, sehingga kebijakan publik dapat berangkat dari bawah.
Pitkin berpendapat dengan dimulai dari memahami keresahan dari tingkat bawah maka pengambil kebijakan akan lebih mengutamakan kepentingan kolektif. Demokrasi lokal menjadi pondasi awal dari demokratisasi yang lebih tinggi (nasional). Orang-orang yang menjadi perwakilan di nasional berangkat dari permasalahan yang mereka pahami dan alami di tingkat lokal. Pitkin setidaknya memberikan gambaran bahwa kebijakan publik negara harus melihat kondisi-kondisi di tingkat lokal.
Keresehan (urgensi) yang berangkat dari lokal menjadi sebuah substansi penting dalam pengambilan keputusan. Representasi Yang Seharusnya
Penulis setuju bahwasanya konsep keterwakilan yang ada di Indonesia saat ini sudah cocok dengan adanya sistem desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, dalam praktek dan penerapannya masih terdapat kelemahan. Mengapa demikian? Alasannya : (1) Sistem keterwakilan yang sangat terbatas, sehingga menciptakan sekat antara representator di daerah dengan yang di pusat, (2) Proses diskursus yang berkembang di masyarakat, hampir mustahil bisa sampai ke level nasional karena adanya sekat tersebut, (3) Representator di level pusat ketika menjaring opini publik di daerahnya, lebih kepada formalitas ketimbang substantif, (4) Kebijakan nasional turut mempengaruhi masyarakat di level daerah, walaupun ada kebijakan di tingkat lokal.
Kelemahan tersebut terlihat dalam praktik-praktik:
Pertama, terlihat dalam sejumlah langkah politik pejabat publik dan elit politik di lingkungan eksekutif dan legislatif yang mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dan hajat orang banyak di dalam lingkaran mereka sendiri. Sebagai representator tidak mewakili masyarakat. Kenyataan ini terlihat dalam proses legislasi di DPR sejak perubahan UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK menjadi UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK, pengajuan RUU Omnibus Law sejak Oktober 2019 menjadi UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Perubahan dan pengesahan semua UU itu sepenuhnya ditentukan oleh eksekutif dan legislatif di dalam lingkaran mereka sendiri. Publik tidak dilibatkan secara signifikan dalam perubahan dan pembentukan UU tersebut.
Kedua, konflik pembangunan Bendungan Wadas, representasi yang dipakai melalui advokasi dan organisasi masyarakat sipil bukan melalui jalur formal melalui DPRD. Seharusnya DPRD Kabupaten Purworejo maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bisa mengadvokasi ke DPR RI ataupun Pemerintah Pusat. Namun, dengan adanya Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, seolah-olah seluruh masyarakat Indonesia setuju dengan pembangunan Bendungan Bener dan kebijakan nasional yang sudah disahkan tidak dapat diganggu gugat oleh daerah.
Kebijakan nasional turut mempengaruhi masyarakat di level daerah, walaupun ada kebijakan di tingkat lokal. Padahal daerah yang lebih mengetahui tentang yang terbaik untuk wilayahnya.
Praktik-praktik demikian justru jauh dari representasi. Padahal dalam representasi harus ada unsur deliberatif. Deliberasi berarti “konsultasi”, “menimbang-nimbang”, atau “musyawarah”. Demokrasi dapat disebut deliberatif ketika alasan atas suatu kebijakan publik telah diuji terlebih dahulu melalui konsultasi publik atau menurut Habermas disebut dengan “diskursus publik”.
Terkait dengan representasi, penulis berpandangan bahwa prinsip subsidiaritas layak untuk diterapkan dalam praktik bernegara karena struktur masyarakat Indonesia yang heterogen. Dengan alasan; (1) Amanat reformasi: otonomi diberikan kepada daerah seluas-luasnya, (2) Prinsip desentralisasi yang diterapkan saat ini masih dipahami secara top-down dan bukan bottom-up, (3) Pemerintah pusat lebih sering turun langsung ke masyarakat daripada memberdayakan pemerintah daerah setempat, (4) Pemerintah pusat cenderung bersikap otoritatif ketika berurusan dengan pemerintah daerah.
Prinsip subsidiaritas tidak dimaknai sebagai pendelegasian wewenang yang seakan-akan negara memiliki wewenang, padahal dalam prinsip subsidiaritas, daerahlah yang seharusnya memiliki wewenang untuk mengelola urusan daerahnya (hormat terhadap martabat manusia yang berakal budi, bebas, dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri). Dengan demikian, dapat memberikan penghormatan terhadap suatu inisiatif dan kegiatan yang berasal dari bawah (daerah), menghargai setiap urusan daerah yang dapat diselesaikan pula oleh daerah tersebut.
Dengan penerapan prinsip subsidiaritas dapat menghindari adanya intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat ketika berurusan dengan pemerintah daerah. Jika daerah mendapatkan permasalahan dan daerah tidak bisa menyelesaikan permasalahannya dengan baik, maka negara bisa ikut membantu menyelesaikan permasalahan yang ada di daerah tersebut. Ketika daerah membuat kebijakan yang tidak sesuai, tugas negara mengingatkan perihal dampak apa yang akan terjadi jika kebijakan itu disahkan.
Negara tugasnya membantu daerah, bukan mendikte daerah. Contoh kasus permasalahan subsidiaritas; Penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) penjabat bupati/walikota/gubernur yang habis jabatan tahun ini (2022) sampai pada pemilu berikutnya, syarat akan intervensi pemerintah pusat. Padahal jika direfleksikan, daerah yang seharusnya kapabel dan tahu tentang siapa calon yang layak dari daerahnya untuk meneruskan menjabat sebagai Plt.
Prinsip subsidiaritas berarti memberikan penghormatan terhadap inisiatif dan kegiatan dari bawah, menghargai urusan daerah yang diselesaikan oleh daerah. Prinsip subsidiaritas penekanannya pada kebijakan yang diambil secara bottom-up sehingga representasi masyarakat dari bawah dapat terwakilkan. Negara sebaiknya tidak mengambil alih sepenuhnya terkait dengan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh daerah.
Referensi
Lay, Cornelis. “Political Linkages Between CSOs And Parliament In Indonesia: A Case Study Of Political Linkages In Drafting The Aceh Governance Law”. Asian Journal of Political Science, 25:1, 130-150, 2017.
Phillips, Anne. The Politics of Presence. Oxford: Clarendon Press, 1995.
Pitkin, Hanna Fenichel. “Representation and Democracy: Uneasy Alliance”. Scandinavian Political Studies, Vol. 27 – No. 3, 2004.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2021.
Wicaksono, Kristian Widya. “Problematika dan Tantangan Desentralisasi di Indonesia”. Jurnal Bina Praja, 10.21787/JBP.04. 21-28, 2012.(*)














