MATTANEWS.CO, KAPUAS HULU – Kabut tipis turun perlahan seperti selendang embun yang melingkari pucuk-pucuk kelapa. Mereka berdiri tinggi, anggun, mengapit hamparan sawah yang terbentang luas bagai permadani zamrud, bersinar lembut di bawah hangat sinar mentari pagi.
Cahaya itu belum sepenuhnya terbangun, masih malu-malu menyusup di sela-sela dedaunan, menyapa pucuk-pucuk padi yang bergoyang lirih, mengilat keemasan seperti rambut dewi pagi. Burung-burung kecil berlarian di udara, suaranya bersahut-sahutan menyambut hari baru yang penuh janji.
Aroma tanah basah setelah hujan malam masih setia tinggal di udara, membelai paru-paru saya dengan tenang, seolah membisikkan bahwa kedamaian tidak pernah benar-benar pergi. Di kejauhan, gemericik sungai kecil melenggak-lenggok membelah lanskap, memantulkan birunya langit yang mulai merekah.
Di sinilah saya berdiri di desa mungil bernama Sungai Purun Kecil. Sebuah nama yang tenang, seperti alirannya. Sebuah tempat yang hari ini tak lagi menjadi titik diam di peta. Ia berdenyut, hidup, dan berubah.
Dan di tengah simfoni alam itu, datang irama baru bukan dari gamelan atau suling bambu, melainkan dari molen berputar dan cangkul yang menghantam tanah. Bukan menyakitinya, tetapi menyembuhkannya.
Di antara gundukan pasir dan tumpukan semen, para prajurit TNI dan warga desa bekerja bahu-membahu. Mereka tidak berseragam upacara atau kemeja kerja. Tidak ada protokol, tidak ada perintah resmi. Yang ada hanya peluh, debu, dan kebersamaan yang memadatkan harapan dalam wujud nyata.
Jalan sepanjang 1.115 meter itu dulu adalah luka. Lubang-lubang menganga menampung genangan ketika hujan datang, membuat siapa pun yang lewat harus berjibaku dengan lumpur dan licin. Tapi hari ini, setengah dari jalan itu telah diselimuti beton kuat dan bersih. Setengah lainnya masih tanah merah yang menempel di sepatu para pekerja. Tapi yang paling penting itu bukan lagi luka. Itu proses penyembuhan.
Di pinggir jalan yang belum sempurna itu, dari balik semak, berdiri seorang anak kecil. Seragam sekolahnya agak kusut, sepedanya tersangkut di tepian cor yang masih basah. Ia mematung, matanya memantulkan keraguan. Apakah harus melanjutkan? Ataukah menunggu hingga jalan ini siap menampung langkah kecilnya?
Melihat itu, seorang prajurit Satgas TMMD dari Kodim 1201/Mempawah berjalan mendekat. Ia tidak membawa senjata, hanya senyum. Dengan lembut, ia mengangkat sepeda si anak, membantunya menyeberang sisi aman jalan.
“Nanti kalau sudah kering, kamu bisa ngebut lewat sini,” katanya sambil mengedipkan mata. Anak itu tersenyum malu-malu. Pipi kecilnya memerah, dan tangannya melambai ketika ia mulai mengayuh pergi. Di tengah proyek pembangunan yang bising dan berdebu, sebuah kehangatan manusia terjadi kecil, tapi bermakna.

Pemimpin yang Turut Membaur
Di tengah terik matahari yang menggigit kulit, seorang pria berseragam loreng tampak mencolok bukan karena jabatannya, tetapi karena ia ada di tempat yang tak biasa bagi seorang perwira tinggi.
Letkol Inf. Benu Supriyantoko, S.H., Dansatgas TMMD Ke-124, berdiri tanpa ragu di antara debu, lumpur, dan deru mesin molen. Ia bukan tipe pemimpin yang hanya meninjau dari balik meja atau kendaraan dinas. Hari itu, ia menyingsingkan lengan, menggulung semangat, dan turun langsung ke jantung aktivitas.
Topi merah menutupi kepalanya, kontras dengan wajah yang sudah dibasahi keringat. Tangannya mendorong gerobak berisi coran beton melintasi jalan tanah yang masih mentah. Bajunya penuh cipratan semen, lengannya berdebu, namun langkahnya mantap. Bukan simbol kemewahan, tapi keteladanan.
“Tetap semangat ya, kita berikan yang terbaik untuk warga!” serunya lantang, suara yang melampaui bunyi molen dan cangkul. Teriakan kompak “Siap!” dari para anggota satgas membalas ucapannya, bukan karena kewajiban, tapi karena mereka percaya pada pemimpinnya.
Ia tidak berdiri di menara pengawas. Ia menyatu, bekerja seperti yang lain tanpa sekat antara jabatan dan kerja nyata. Ketika seorang prajurit muda terlihat limbung karena lelah, Letkol Benu menghampirinya, menepuk pundaknya pelan dan berkata, “Kita ini bukan hanya bangun jalan, tapi sedang menanam harapan.”
Kata-katanya sederhana, tapi mengandung makna dalam. Di tengah debu, keringat, dan semangat yang menyatu, sosok Letkol Benu menjelma bukan hanya sebagai komandan, tetapi sebagai teladan. Ia adalah simbol inspirasi, bukan dari podium, tapi dari lumpur dan kerja keras. Ia membaur, dan dari sanalah kepercayaan tumbuh subur baik dari warga, maupun dari para prajuritnya sendiri.
Rumah di Ujung Desa
Di ujung desa, tempat yang dulu hanya menjadi tempat persinggahan angin dan langit kelabu, berdiri sebuah rumah mungil. Ia tidak megah, tapi tegak. Tidak besar, tapi kokoh. Rumah itu dulunya gubuk reyot milik Pak Rahim, seorang buruh tani yang menjalani hidup sederhana bersama istri dan tiga anaknya. Dinding lamanya terbuat dari papan lapuk, atapnya bocor di mana-mana, dan mereka biasa tidur dalam kerudung tikar, bukan selimut, ketika hujan turun.
Kini rumah itu berdiri baru. Dinding berdiri rapi, atap sengnya mengilap di bawah mentari. Rumah itu dibangun dengan tangan-tangan para prajurit TMMD. Mereka menggali fondasi di bawah guyuran hujan, mengangkat batu bata melalui tanah becek, dan mencampur semen dengan semangat bukan dari kontraktor tetapi dari saudara.
Pak Rahmad berdiri di teras rumahnya yang baru, matanya basah. “Dulu kalau hujan, kami tidur berdesakan di sudut, takut genting jatuh,” katanya. “Sekarang, anak-anak bisa tidur nyenyak.” Tidak ada kata-kata yang bisa mewakili rasa syukur selain air mata yang diam-diam jatuh, mengalir bersama air kehidupan baru.
Air yang Menyegarkan Hidup

Tak jauh dari sana, suara gemercik air baru terdengar. Sumur bor kini memuntahkan air bersih sepanjang hari. Anak-anak mencuci tangan di pancuran. Para ibu mengisi jeriken dengan wajah cerah. Tak ada lagi perjalanan berkilo-kilometer hanya demi setimba air. Bu Siti, salah satu warga, memandang sumur itu seolah memandang mukjizat. “Air ini seperti anugerah,” katanya pelan. Di desa ini, air bukan sekadar elemen, melainkan kehidupan.
Kandang Komunal dan Telur Harapan
Di sisi lain desa, sebuah kandang besar berdiri kokoh penuh kehidupan dan semangat baru. Suara ayam petelur yang sehat dan aktif mengisi udara, menciptakan riuh rendah yang menghangatkan suasana. Kandang ini bukan milik pribadi, melainkan fasilitas komunal yang dibangun oleh Kodim 1201/Mempawah dan dikelola bersama oleh warga Desa Sungai Purun Kecil. Di dalamnya, seratus ekor ayam petelur dirawat secara bergilir oleh masyarakat. “Kami saling bergantian memberi makan, membersihkan kandang, dan memanen telur,” ujar Pak Ruslan, ketua kelompok pengelola, dengan penuh semangat.
Di kesempatan liburannya, Dansatgas TMMD Letkol Inf. Benu Supriyantoko turut mengajak keluarganya meninjau langsung kandang tersebut. Ia memperkenalkan kandang ini sebagai bagian dari warisan TMMD yang bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan dan pemberdayaan ekonomi warga. Sang istri dan anak-anaknya tampak antusias melihat langsung proses perawatan ayam dan panen telur, menyaksikan bagaimana kerja sama TNI dan warga benar-benar menghadirkan manfaat nyata bagi kehidupan desa.
Melangkah lebih dekat, terasa getaran kehidupan yang terpancar dari kandang itu. Suara ayam yang bersahutan seolah membentuk simfoni kerja keras dan kebersamaan. Telur-telur yang dipanen sebagian dijual ke pasar terdekat, sementara sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan gizi warga, terutama anak-anak yang membutuhkan asupan protein berkualitas. Kandang itu menjadi sekolah tanpa papan tulis, tempat warga belajar tentang tanggung jawab, ketahanan, dan kemandirian. “Kami tidak hanya beternak,” ucap Pak Ruslan lagi, “kami membangun masa depan.”
Benih Masa Depan

Di tanah yang dulunya semak belukar, kini tumbuh harapan. Bibit-bibit sawit ditanam dengan hati-hati. Satu hektare lahan berubah menjadi kebun masa depan. Yanto, petani muda, belajar menanam dari penyuluh pertanian dan anggota Kodim. Ia tahu bahwa ini bukan hasil besok, tapi benih untuk anak cucunya kelak.
Tak jauh dari situ, dua hektare sawah menghampar. Lumpur menempel di kaki, tapi semangat tak lengket ia terus mengalir. “Dulu kami bingung tanah ini mau dipakai apa,” kata petani setempat. “Sekarang kami tahu, ini sawah harapan.”
Generasi Baru, Energi Baru
Mereka datang bukan dengan pangkat, tapi dengan ransel dan semangat. Mahasiswa dari berbagai kampus ikut bekerja. Mereka mencangkul, menanam pohon, mengangkut pasir.
“Kami belajar nilai hidup. Mereka adalah jembatan antara dunia teori dan tanah yang nyata,” kata Dina Mahasiswi Pertanian
Suatu hari, 200 pohon ditanam bersama kader HMI. Setiap pohon diberi nama Pohon Damai, Pohon Masa Depan, Pohon Ibu. “Kami ingin desa ini hijau selamanya,” kata Ridho, aktivis muda. Di balik nama-nama itu, tersimpan cita-cita.
Jejak Hijau Pasca TMMD di Dusun Nikmat
Di hamparan tanah subur Dusun Nikmat, jejeran pohon jambu kristal mulai ditanam dengan semangat yang sama ketika membangun jalan dan rumah warga. Dansatgas TMMD Ke-124 Kodim 1201/Mempawah, Letkol Inf. Benu Supriyantoko, S.H., tidak sendiri. Kali ini, ia menggandeng jajaran PT. Borneo Alumina Indonesia (PT. BAI) dalam aksi menanam pohon di demplot ketahanan pangan.
Gerakan ini bukan sekadar kegiatan simbolis, melainkan bagian dari tekad untuk memastikan keberlanjutan program TMMD melalui sektor pangan yang tangguh. Setiap cangkul yang menembus tanah menjadi lambang sinergi antara TNI, warga, dan dunia usaha demi mewujudkan desa mandiri pangan.
Pohon-pohon muda itu ditanam dengan harapan besar suatu hari nanti, mereka akan tumbuh rindang dan menghasilkan buah manis yang bisa dinikmati anak-anak desa. Tapi lebih dari itu, yang sedang tumbuh adalah kepercayaan dan semangat kolaborasi jangka panjang.
Demplot ini menjadi ruang belajar, ladang harapan, dan simbol bahwa setelah TMMD selesai, benih-benih kebaikan masih terus ditanam. “Kami ingin memastikan apa yang dimulai hari ini tidak berhenti di sini,” ujar Letkol Benu sambil membersihkan tanah di sela akarnya. Ketahanan pangan bukan sekadar panen ia adalah warisan.
Di Balik Seragam Loreng

Di balik seragam loreng yang penuh debu dan keringat, terpancar wajah-wajah yang lelah namun bergelora dengan semangat membara. Para anggota Satgas TMMD bukan sekadar pekerja keras yang membangun fisik desa, melainkan sosok-sosok yang menghidupkan asa dan harapan. Mereka bukan hanya tukang bangunan, tapi juga guru yang sabar mengajarkan warga, penyuluh yang membimbing petani, dan sahabat yang setia menemani setiap langkah warga.
Dari menggali sumur di bawah terik matahari, menanam padi di sawah yang basah oleh keringat, membangun rumah layak huni, hingga mendampingi anak-anak bermain di sore yang damai, mereka hadir dengan jiwa pengabdian yang tulus.
Setiap tetes keringat yang mereka keluarkan adalah cerita pengorbanan yang tak terlihat, namun membekas dalam kehidupan warga desa. Di balik seragam loreng itu, mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang menjadikan desa ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi rumah yang penuh harapan dan kehidupan.
Membangun untuk Masyarakat

Keberhasilan TMMD Ke-124 Kodim 1201/Mempawah tak lepas dari sinergitas erat antara TNI dan pemerintah daerah Mempawah. Kolaborasi ini menjadi pondasi kuat dalam mewujudkan pembangunan yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat desa, mulai dari infrastruktur hingga pemberdayaan ekonomi.
Melalui Asisten Ekonomi Setda Mempawah Jamiril, Bupti Mempawah menegaskan bahwa peran serta TNI dalam program ini sangat membantu percepatan pembangunan desa, khususnya di daerah yang selama ini minim akses dan fasilitas.
“TMMD bukan hanya soal membangun fisik, tetapi juga membangun semangat kebersamaan dan gotong royong. Sinergi antara pemerintah daerah dan TNI ini merupakan wujud nyata kepedulian kita terhadap kesejahteraan masyarakat, serta bukti bahwa pembangunan harus dilakukan bersama-sama, saling menguatkan. Kami sangat mengapresiasi kerja keras Satgas TMMD dan berharap kolaborasi ini terus berlanjut untuk kemajuan Mempawah yang lebih merata dan berkelanjutan,” ujar Setda Mempawah Jamiril.
Dukungan penuh pemerintah daerah memberikan motivasi ekstra bagi anggota Satgas dan warga untuk terus bekerja keras dan berinovasi dalam menghadirkan perubahan nyata di desa-desa.
Apresiasi dari Mabes TNI
Ketika Tim Wasev dari Mabes TNI datang, seluruh desa terasa berbeda. Warga menyambut dengan penuh kebanggaan. Tim yang dipimpin Kolonel Inf Setiya Asmara tidak hanya meninjau, tetapi juga berdialog langsung dengan warga.
“Kegiatan seperti ini harus diperluas,” katanya saat memberikan arahan.
Letkol Inf Benu Supriyantoko, S. H., melaporkan progres kegiatan dengan penuh percaya diri, disambut apresiasi dan semangat baru. Kunjungan ini menjadi penguat moral dan motivasi bagi seluruh tim TMMD.
Di Sini Harapan Tumbuh
TMMD Ke-124 bukan sekadar program tahunan atau sekadar membangun jalan dan rumah. Ia adalah nyawa yang mengalir, bukti nyata bahwa negara hadir di tengah kesunyian desa yang dulu terasing. Anak kecil yang dulu terpaku melihat jalan berlubang kini kembali mengayuh sepedanya melewati permukaan jalan yang halus, senyum cerah menghiasi wajah polosnya, menandai awal baru yang penuh harapan.
Di tanah yang pernah sunyi dan terlupakan, kini bergema gelak tawa kehidupan. Di jalan yang dulu retak dan berlubang, tumbuh kokoh fondasi masa depan yang gemilang.
“Saya, sebagai saksi mata, menyaksikan betapa peluh, kerja keras, dan jiwa gotong royong yang membara mampu menyulap Tanah Purun Kecil menjadi lahan harapan yang sesungguhnya,” tutupnya.














