Penulis : Aisyatu Najiyatil Fariha, Berli, Khaifagita Fitriand, Sherly Dwi Agustin, Yolanda Fransisca
Kebakaran lahan basah di musim kemarau telah menjadi masalah yang kerap terjadi setiap tahunnya. Tidak jarang, ratusan hektar lahan basah terbakar dan menjadi abu dalam sekejap. Musim kemarau yang semakin panjang dan cuaca yang semakin kering menjadi faktor utama yang memicu kebakaran lahan basah.
Kebakaran lahan basah memiliki karakteristik dan dampak yang berbeda dengan kebakaran lahan biasa lainnya. Lahan basah mempunyai tingkat kelembaban yang tinggi karena mengandung banyak air. Api yang berada di dalam lapisan gambut biasanya akan terus menyala meskipun tidak ada oksigen dari luar. Akibatnya, pemadaman pada kebakaran lahan basah memerlukan usaha ekstra dan waktu yang lebih lama.
Kebakaran lahan basah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perubahan iklim, El Nino, dan aktivitas manusia seperti pengalihan fungsi lahan menjadi lahan pertanian atau perkebunan.
Salah satu praktek yang seringkali mengakibatkan kerusakan lahan basah umumnya disebabkan karena kegiatan membuka lahan dengan metode tebang bakar.
Metode ini dipilih karena memiliki berbagai keuntungan seperti prosesnya mudah, murah dan cepat serta dapat membantu menambah peningkatan unsur hara agar tanah menjadi lebih subur.
Di Sumatera Selatan, kebakaran hutan menjadi hal yang rutin terjadi hampir setiap tahun di musim kemarau. Dilansir dari detiksumbangsel.com, luas lahan gambut yang terbakar di Pulau Sumatera tepatnya di Sumatera Selatan per 10 Oktober 2023 yaitu mencapai 32.000 hektare.
Kebakaran ini paling banyak terjadi di wilayah Ogan Komering Ilir (OKI) dan sudah dikonfirmasi langsung oleh Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim Kebakaran Hutan dan Lahan (PPIKHL) wilayah Sumatera, Ferdian Kristanto.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ogan Ilir telah mengkonfirmasi bahwa area yang terbakar berupa lahan gambut meliputi semak belukar, purun, ilalang dan gelam yang memiliki kedalaman 50 cm.
Kebakaran lahan basah dapat mengakibatkan gangguan pada sistem pernapasan manusia. Berdasarkan situs iqair.com, indeks kualitas udara (AQI) di Palembang pada Senin (30/10/2023), adalah 615 dan masuk kategori berbahaya yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer, atau biasa disebut PM 2,5.
Akibat penurunan kualitas udara tersebut menyebabkan peningkatan signifikan dalam kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Dilansir pada detiksumbangsel.com, pada bulan September jumlah kasus ISPA melonjak tajam hingga mencapai 35 ribu orang. Terlebih lagi, wilayah-wilayah seperti Kota Palembang, Ogan Ilir (OI), dan Ogan Komering Ilir (OKI) menjadi paling terdampak dengan jumlah kasus ISPA yang mencengangkan.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang menyerang saluran pernapasan manusia, terutama hidung, tenggorokan, dan paru-paru. ISPA disebabkan oleh berbagai agen infeksi, seperti virus, bakteri, atau jamur, yang dapat menyebabkan gejala seperti pilek, batuk, sakit tenggorokan, sesak napas, dan demam.
ISPA dapat menjadi masalah kesehatan serius terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, atau individu dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah. Peningkatan kasus ISPA bukan hanya menyebabkan penderitaan individu tetapi juga memberikan beban besar pada sistem perawatan kesehatan yang sudah melebihi kapasitasnya.
Maka dari itu, Pemerintah dan dinas kesehatan memiliki peran penting dalam mengatasi kasus ISPA. Kebakaran lahan basah menjadi ancaman serius terhadap penurunan kualitas udara dan penyakit ISPA.
Kita semua memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan. Mari bersama-sama mendukung inisiatif pemerintah dalam mencegah kebakaran lahan basah dan mengatasi ISPA.
Dengan langkah-langkah pencegahan, pengawasan yang ketat, serta edukasi masyarakat, kita dapat menjaga udara yang bersih, mengurangi kasus ISPA, dan melindungi keberlanjutan lingkungan kita. Bersatu kita kuat, mari kita lindungi masa depan yang sehat untuk generasi mendatang.