MATTANEWS.CO, ACEH TAMIANG –
Peristiwa perusakan fasilitas kantor PT Evans yang terjadi baru-baru ini menjadi perhatian publik. Kejadian ini diduga dipicu oleh ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang terlibat dalam pencurian berondolan sawit.
Dalam negara yang ber-azaskan hukum, segala bentuk keberatan terhadap keputusan pengadilan seharusnya disalurkan melalui mekanisme hukum yang berlaku, bukan dengan tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perbuatan melawan hukum.
Menyoroti kejadian, Praktisi Hukum/ Advokat, Aji Lingga SH angkat bicara, karena tindakan perusakan fasilitas perusahaan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang tertuang pada pasal 406 ayat (1) KUHP.
“Adapun bunyi pasal tersebut, barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda.” ungkapnya, Kamis (6/3/2025).
Menurut Aji Lingga, jadi dalam konteks pasal 406 ayat 1 ini, jelas fasilitas perusahaan adalah barang milik PT Evans yang dirusak secara sengaja, sehingga memenuhi unsur tindak pidana.
“Selain itu, Jika dalam konteks aksi perusakan dilakukan secara berkelompok atau massa, maka hukuman yang dikenakan lebih berat, hal itu tertuang pada pasal 170 ayat 1 KUHP,” terang Praktisi Hukum itu.
Perlu diketahui, sambung Praktisi hukum/advokat, pada pada 170 ayat 1 KUHP itu jelas berbunyi, barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
“Disamping aspek pidana, perbuatan ini juga menimbulkan dampak perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak lain mewajibkan pelaku untuk mengganti kerugian. Dengan demikian, perusahaan dapat menggugat pelaku untuk meminta ganti rugi atas kerusakan yang terjadi,” papar Aji Lingga SH.
Apalagi, sambung Aji Lingga, jika terdapat unsur provokasi atau ajakan yang disebarluaskan melalui media sosial, maka Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 19 Tahun 2016 juga dapat diterapkan, terutama Pasal 28 ayat (2) yang mengatur larangan penyebaran informasi yang dapat menimbulkan kebencian atau permusuhan, dengan ancaman pidana hingga enam tahun penjara.
“Penegakan hukum harus dilakukan untuk menjaga ketertiban dan kepastian hukum,” sebutnya.
Adapun langkah-langkah harus segera diambil, untuk kepastian dan penegakan hukum yaitu, pihak perusahaan harus segera melaporkan kejadian ini ke kepolisian, agar pelaku perusakan dapat diidentifikasi dan diproses hukum. Jadi, dapat dilakukan penerapan Pasal 170 dan 406 KUHP terhadap pelaku, baik individu maupun kelompok yang terlibat.
“Jika terbukti ada provokasi atau hasutan, Pasal 160 KUHP dapat dikenakan terhadap pihak yang mengajak atau memicu aksi anarkis. Dalam hal gugatan perdata dapat diajukan oleh perusahaan terhadap pelaku untuk mengganti kerugian akibat perusakan,” terang Praktisi Hukum itu.
Praktisi hukum itu juga menyimpulkan, tindakan perusakan fasilitas perusahaan bukanlah bentuk pembelaan hak yang sah, melainkan tindak pidana yang memiliki konsekuensi hukum serius. Ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan harus disalurkan melalui jalur hukum yang tersedia, seperti banding atau kasasi, bukan dengan aksi anarkis yang justru dapat menimbulkan konsekuensi hukum baru bagi pelaku. Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus bertindak tegas untuk menegakkan supremasi hukum dan mencegah peristiwa serupa terulang di masa mendatang.
Sebagai negara hukum, kita harus mengedepankan penyelesaian hukum yang beradab, bukan tindakan kekerasan yang merugikan semua pihak.