Kepala Perwakilan Ombudsman, M. Adrian menyampaikan, ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam pertemuan tersebut.
Pertama, masalah ini telah menjadi perhatian publik dan memiliki dampak meluas sehingga penanganannya harus memperhatikan banyak aspek dan memerlukan kehati-hatian.
Kedua, bahwa masih terjadi perbedaan penafsiran di masyarakat berkaitan dengan alas hak yang dimiliki masing-masing pihak, baik KAI maupun masyarakat. Sehingga harus ada rasa saling menghormati antar keduanya, apalagi ini menyangkut hajat hidup masyarakat sebagai warga negara.
Ketiga, dalam peraturan hukum dan berbagai referensi, bahwa Grondkaart merupakan petunjuk awal yang memerlukan upaya administratif lanjutan berupa konversi menjadi status Hak Atas Tanah baik berupa Hak Milik, Hak Pakai atau Hak pengelolaan oleh PT. KAI sebagaimana dibunyikan pada UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Upaya tersebut tentu memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi di antaranya adalah penguasaan fisik lahan, sebagaimana dibunyikan dalam PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto PP Nomor 18 Tahun 2021 dan Permen Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Tanah dan Pendaftaran Hak. Selama ini masalahnya adalah bahwa tanah tersebut banyak dikuasai bukan oleh PT. KAI melainkan warga secara turun-temurun. Sedangkan PT. KAI sendiri tidak maksimal dalam menjalankan kewajiban hukumnya berupa pemanfaatan dan penatausahaan tanah tersebut. Kalau betul memang tanah yang diklaim adalah milik PT. KAI, mestinya dijaga, dipasang tanda fisik penguasaan., Sehingg tidak mungkin ada pihak yang menduduki, membangun rumah apalagi sudah tinggal sampai puluhan tahun.