Representasi telah bergeser dari kewajiban (zaman kerajaan Inggris) menjadi sebuah hak (melawan kesewenang-wenangan raja dan negara). Pitkin mengutip Hannah Arendt bahwa representasi yang benar-benar demokratis dapat diwujudkan melalui demokrasi yang partisipatif dan konkrit dari tingkat lokal. Melalui cara tersebut setiap warga negara akan belajar memahami kegelisahan yang dirasakan langsung oleh masyarakat, sehingga kebijakan publik dapat berangkat dari bawah.
Pitkin berpendapat dengan dimulai dari memahami keresahan dari tingkat bawah maka pengambil kebijakan akan lebih mengutamakan kepentingan kolektif. Demokrasi lokal menjadi pondasi awal dari demokratisasi yang lebih tinggi (nasional). Orang-orang yang menjadi perwakilan di nasional berangkat dari permasalahan yang mereka pahami dan alami di tingkat lokal. Pitkin setidaknya memberikan gambaran bahwa kebijakan publik negara harus melihat kondisi-kondisi di tingkat lokal.
Keresehan (urgensi) yang berangkat dari lokal menjadi sebuah substansi penting dalam pengambilan keputusan. Representasi Yang Seharusnya
Penulis setuju bahwasanya konsep keterwakilan yang ada di Indonesia saat ini sudah cocok dengan adanya sistem desentralisasi dan otonomi daerah. Namun, dalam praktek dan penerapannya masih terdapat kelemahan. Mengapa demikian? Alasannya : (1) Sistem keterwakilan yang sangat terbatas, sehingga menciptakan sekat antara representator di daerah dengan yang di pusat, (2) Proses diskursus yang berkembang di masyarakat, hampir mustahil bisa sampai ke level nasional karena adanya sekat tersebut, (3) Representator di level pusat ketika menjaring opini publik di daerahnya, lebih kepada formalitas ketimbang substantif, (4) Kebijakan nasional turut mempengaruhi masyarakat di level daerah, walaupun ada kebijakan di tingkat lokal.