Kelemahan tersebut terlihat dalam praktik-praktik:
Pertama, terlihat dalam sejumlah langkah politik pejabat publik dan elit politik di lingkungan eksekutif dan legislatif yang mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dan hajat orang banyak di dalam lingkaran mereka sendiri. Sebagai representator tidak mewakili masyarakat. Kenyataan ini terlihat dalam proses legislasi di DPR sejak perubahan UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK menjadi UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK, pengajuan RUU Omnibus Law sejak Oktober 2019 menjadi UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Perubahan dan pengesahan semua UU itu sepenuhnya ditentukan oleh eksekutif dan legislatif di dalam lingkaran mereka sendiri. Publik tidak dilibatkan secara signifikan dalam perubahan dan pembentukan UU tersebut.
Kedua, konflik pembangunan Bendungan Wadas, representasi yang dipakai melalui advokasi dan organisasi masyarakat sipil bukan melalui jalur formal melalui DPRD. Seharusnya DPRD Kabupaten Purworejo maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bisa mengadvokasi ke DPR RI ataupun Pemerintah Pusat. Namun, dengan adanya Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, seolah-olah seluruh masyarakat Indonesia setuju dengan pembangunan Bendungan Bener dan kebijakan nasional yang sudah disahkan tidak dapat diganggu gugat oleh daerah.