Reporter : Arlan
PALEMBANG, Mattanews.co – Sebanyak 36 Lembaga (LSM/CSO), anggota Koalisi Anti Perusakan Hutan Sumatera Selatan-Jambi, menolak membahas dokumen lingkungan, terkait rencana pembangunan jalan khusus tambang yang diusulkan PT Marga Bara Jaya. Alasannya, jalan khusus yang direncanakan itu melewati dan membelah kawasan hutan tropis dataran rendah Sumatera di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan.
Menurut Adiosyafri, koordinator koalisi 36 Lembaga (LSM/CSO), sikap ini disampaikan terkait Rapat Komisi Penilai Amdal Pusat, Rabu (27/03/2019) di Hotel Santika Palembang, dengan agenda membahas dokumen perbaikan Andal – RKL-RPL Rencana Pembangunan Jalan Khusus Angkutan Batubara. Selain menolak membahas dokumen lingkungan, Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan-Jambi ini sekaligus menolak rencana pembangunan jalan khusus angkutan batubara tersebut.
“Selain bertentangan dengan berbagai aturan baik di tingkat pusat maupun daerah, jalan khusus yang melewati kawasan hutan tropis tersisa di Sumatera itu akan merusak ekosistem yang tengah dipulihkan, meningkatkan potensi terjadi deforestasi dan fragmentasi kawasan hutan, mengancam kelestarian keanekaragaman hayati yang tinggi di Sumatera,” ungkapnya.
“Kami tidak hanya menolak dokumen lingkungan yang telah disusun, tapi juga tidak setuju dengan rencana pembangunan jalan khusus angkutan batubara, jika lokasinya melalui dan membelah hutan alam dataran rendah Sumatera yang sedang dikelola melalui IUPHHK Restorasi Ekosistem (RE) tersebut,” tegas Adios yang aktif di Hutan Kita Institute (HaKI).
Dari 88 km rencana jalan khusus pengangkutan batubara yang diusulkan PT Marga Bara Jaya ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sepanjang 34,5 km di antaranya melewati HPT Kelompok Hutan Meranti dan Hutan Lalan. HPT ini sejak 2008 dikelola PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT Reki), melalui Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) – Restorasi Ekosistem (RE).
Saat ini rencana pembangunan jalan khusus batubara sedang memasuki tahapan penyusunan dokumen lingkungan, berupa Analisa Dampak Lingkungan, Rencana Pemantauan Lingkungan dan Rencana Kelola Lingkungan, atau dikenal dengan Andal dan RPL-RKL. Dokumen ini menjadi dasar dikeluarkannya izin lingkungan oleh Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK).
Proses penilaian dokumen lingkungan itu telah dilakukan beberapa kali. Termasuk 20 Februari 2019 lalu, di kantor KLHK, Jakarta, yang dihadiri perwakilan Koalisi LSM Sumatera Selatan-Jambi. Dalam pertemuan itu, Koalisi LSM Sumsel-Jambi tidak hanya menolak dengan tegas rencana pembangunan.
jalan khusus angkutan batubara melalui & membelah kawasan hutan alam dataran rendah, yang dibahas dalam dokumen Andal tersebut. Koalisi 36 LSM/CSO ini juga telah merekomendasikan alternatif jalan, yang berlokasi di luar kawasan hutan alam dataran rendah yang sekaligus di luar areal IUPHHK Restorasi Ekosistem (RE).
Sayangnya, pada dokumen perbaikan Andal, RKL-RPL yang dibahas di Palembang ini, pihak pengusul yakni PT Marga Bara Jaya, tetap menggunakan lokasi hutan alam dataran rendah yang sekaligus areal IUPHHK Restorasi Ekosistem (RE), sebagai rute jalan khusus tambang. “Karena itu, koalisi beranggotakan 36 LSM/CSO secara konsisten tetap bersikap menolak, jika jalan khusus tambang masuk dalam kawasan HPT di perbatasan Jambi-Sumsel. Tidak bisa dibenarkan.
Sementara itu, Diki Kurniawan dari YLBHL Jambi menjelaskan, pembukaan jalan di kawasan HPT dan melewati kawasan yang saat ini tengah direstorasi, tetap tidak bisa dibenarkan. Selain bertentangan dengan peraturan yang sudah ada, baik di tingkat pusat maupun daerah, jalan khusus dimaksud juga akan merusak ekosistem yang tengah dipulihkan, meningkatkan potensi terjadi deforestasi dan fragmentasi kawasan hutan, mengancam kelestarian keanekaragaman hayati yang tinggi, juga akan membuka akses dan meningkatkan konflik manusia dengan satwa liar (human – wildlife conflict), perburuan satwa liar (poaching) dan pembalakan liar (illegal logging).
“Jalan ini tidak sekadar membuka akses seluas-luasnya untuk mengeksploitasi hutan tropis dataran tersisa di Sumatera, tapi sekaligus akan menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat sekitar hutan,” imbuh Diki.
Ditambahkan, masyarakat Batin Sembilan dan Suku Anak Dalam akan menentang kehadiran para pendatang, yang dalam 10 tahun terakhir sangat agresif melakukan ekspansi pembukaan lahan di dalam kawasan hidup mereka, dan akan mati-matian melindungi hasil hutan bukan kayu sebagai sumberdaya tradisional mereka.
Karena itu, koalisi mendesak pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), untuk tidak menyetujui usulan PT Marga Bara Jaya membangun jalan khusus batubara didalam kawasan HPT. Koalisi juga merekomendasikan PT Marga Bara Jaya untuk membangun kerjasama operasional untuk menggunakan jalan yang ada (existing), yaitu melalui jalan PT Conoco Phillip dan PT Bumi Persada Permai.
“Pemerintah dalam hal ini KLHK perlu memfasilitasi kerjasama penggunaan jalan yang ada (existing) di areal PT Sentosa Bahagia Bersama, yang selama ini tidak pernah dilibatkan sebagai pemangku kepentingan utama terkait rencana pembangunan jalan khusus angkutan batubara oleh PT Marga Bara Jaya tersebut,’”pinta Diki Kurniawan.
Kekayaan Hayati Tinggi Kawasan hutan produksi terbatas di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan, terutama di dalam kawasan Hutan Harapan, memiliki kekayaan hayati yang tinggi, menjadi habitat penting bagi 26 spesies langka dan kritis, yang sebagian besar dilindungi hukum Indonesia; harimau sumatera, gajah sumatera, tapir, ungko, anjing hutan, trenggiling, berbagai jenis burung serta aneka jenis tumbuhan endemis lainnya.
Di samping itu, Hutan harapan sebagai rumah bagi 228 keluarga Batin Sembilan. Dari hasil survei yang dilakukan sejak tahun 2008, di dalam kawasan ini ditemukan antara lain, 446 pohon, 307 jenis burung yang 66 di antaranya hampir terancam punah, 64 mamalia, termasuk 29 harimau sumatera, 56 reptil, 38 amphibi yang memiliki indikator kesehatan lingkungan, dan lebih dari 1300 spesies tumbuhan. Ini menunjukan bahwa kawasan Hutan Harapan merupakan salah satu wilayah penyelamatan keragaman hayati di Pulau Sumatera.
Bahkan, BKSDA Propinsi Jambi telah melepas-liarkan 2 ekor Gajah sumatera yang berkonflik dengan manusia di landsekap Bukit 30, Propinsi Jambi, Januari 2017 dan September 2018. Tahun 2018 juga dilakukan pelepas-liaran sekitar 150 ekor burung hasil tangkapan ke dalam Hutan Harapan.
Karena itu, menurut Koalisi LSM/CSO se Sumsel-Jambi ini, pembangunan jalan khusus angkutan batubara tersebut dinilai bertentangan dengan: 1) Konvensi Keanekaragaman Hayati, Pasal 14, yang telah ditanda tangani dan diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati; serta 2) kebijakan dan komitmen Pemerintah Indonesia mengurangi emisi sebesar 29 persen, seperti tertuang dalam INDC (Indonesia’s Intended Nationally Determined Contribution), karena memicu deforestasi dan degradasi hutan.
Editor : Anang/Rilis