Konon katanya, saat turun ke sawah, warga selalu menyapa sebelum tiba di sumber air panas itu, “Empo, mame hang ga”?(Nenek, sudah masak?). Sapaan itu langsung disambut dengan bunyi air mendidih disertai buih menggelembung.
“Itu merupakan jawaban dari roh “Umpu Bobok” yang dulunya tinggal di lokasi ini. Jadi air panas ini penjelmaan dari kesaktian “Umpu Bobok” yang terhanyut banjir di masa lalu”, kata Albert lagi.
#Ritual adat “Hising”
Sebelum penataan dilakukan, tokoh-tokoh masyarakat bersama pemerintah desa menggelar ritual adat yang mereka sebut “Hising” yang artinya memohon restu sekaligus permisi kepada roh leluhur yang menghuni mata air panas karena lokasi itu segera ditata lebih baik menjadi spot wisata desa. Warga di sana sangat yakin bahwa ada roh yang mendiami tempat tersebut. Dan karena itu mereka memohon izin sebelum ditata menjadi destinasi wisata baru.
Bahan sesajian dalam ritual ini adalah ayam jantan berbulu warna putih melambangkan ketulusan. Warga dengan tulus hati meminta izin dan testu kepada roh leluhur mereka dengan harapan sumber air panas itu dikelola secara lebih baik jadi spot wisata demi peningkatan kesejahteraan mereka. Begitu arti tuturan adat memakai bahasa daerah setempat yang mereka tuturkan sebelum ayam jantan disembelih di sumber air panas itu.