MATTANEWS.CO, TULUNGAGUNG – Kios Tegal Arum terletak didepan Pasar Ngemplak Kelurahan Botoran, Kecamatan Tulungagung Kota, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur diduga uang sewa digelapkan oleh oknum pengurus paguyuban.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Botoran, Kecamatan Tulungagung Kota, Kabupaten Tulungagung, Syaiful Hakim menceritakan awal mula polemik kios Tegal Arum berujung dugaan uang sewa yang digelapkan oleh oknum pengurus paguyuban.
“Jadi begini, saya telah berjuang sejak tahun 2017 hingga tahun 2020 lalu. Kendati demikian, hasil yang didapatkan masih belum ada untuk berpihak kepada masyarakat Kelurahan Botoran,” ucap Syaiful dihadapan awak media.
Dia menambahkan bahwasanya dulu pada tahun 1995 sampai 1997 kios Tegal Arum itu masih di bawah Pemerintahan Desa Botoran dengan status Titi Soro atau Titi Sara.
Titi Soro, sambung dia, merupakan tanak milik desa yang hasil panennya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan desa.
“Tanah titi sara merupakan salah satu contoh tanah desa, selain tanah bengkok dan tanah kuburan,” tambahnya.
“Saya masih ingat, saat itu mulai
dibangun kios pada tahun 1996 dan selesai pada tahun 1997,” imbuhnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwasanya pembangunan
kios Tegal Arum itu atas kesepakatan LKMD saat ini LPM dengan dana gotong-royong dan bagi pengguna, mendapatkan Surat Hak Guna Usaha (HGU) yang masa periodenya 20 tahun atau hingga 2018.
Kendati demikian, jelas dia, dengan bergantinya waktu, maka status Desa Botoran justru berubah menjadi Kelurahan. Hal ini yang kemudian menjadikan seluruh aset desa menjadi aset kelurahan yang kewenangan pengelolaannya langsung di Pemerintah Daerah.
“Saya heran saja, saat tahun 2017 secara tiba-tiba muncul atau terbit sertifikat hak milik atas nama pemerintah pemerintah daerah dengan proses yang tergolong sangat cepat yakni hanya 2-3 bulan,” terangnya.
“Sebelum Desember 2017 tiba tiba terbit sertifikat dengan proses yang sangat cepat,” sambungnya.
Menurut dia, LPM dan beberapa pemuda Kelurahan Botoran sudah tiga tahun ingin menanyakan sebenarnya status tanah itu pasca HGU habis masa waktunya. Bahkan, jika telah diteruskan dengan cara sewa, pihaknya meminta agar pagu anggaran Kelurahan naik yang niatnya digunakan untuk mendanai belanja kelurahan. “Kondisi saat itu sebenarnya sudah mulai muncul polemik selama 3 tahun dengan keputusan tetap dikelola Pemda tapi kita minta Pagu tambahan pembangunan 225 Juta pertahun. Itu bukan kami yang mengelola, tapi biar dikelola penuh oleh Kelurahan,” ujarnya.
“Tapi apa yang terjadi justru kesepakatan ini rupanya hanya membuahkan hasil isapan jempol semata, karena tuntutan yang disampaikan tidak terealisasi, lantaran diduga ada pihak-pihak yang memainkannya,” imbuhnya.
“Dugaan ada orang yang bermain, mereka oknum pengurus paguyuban. Uang sewa itu masuk ke mereka, apakah disetor kemana itu saya tidak tau,” tegas dia sembari dengan menyebut nama orang yang dimaksud,” tandasnya.