[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Klik Disini Untuk Mendengarkan Berita”]
Penulis : Rachmat Sutjipto
Inovasi Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindustrian Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan (Sumsel) dalam memfasilitasi sertifikasi label Halal dari MUI bagi usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM.
Bila benar-benar serius, bisa dijadikan titik awal kebangkitan modernisasi industri kecil. sekaligus pintu gerbang menuju digitalisasi UMKM.
Terlebih lagi, sejalan dengan sertifikasi tersebut, Pemkab OKI kemudian berencana hendak mendorong UMKM merambah pasar digital (marketplace), dalam memperluas pangsa pasar.
Kebijakan ini menjadi hal menarik. Karena selama ini, keberlangsungan UMKM di Bumi Bende Seguguk, seolah tidak mendapat porsi lebih ketimbang sektor lainnya.
“Akan terus menyasar program untuk optimalisasi sumber daya kearifan lokal dan meningkatkan daya jual pelaku UMKM, dengan memiliki produk yang berkualitas. Sehingga mampu bersaing di berbagai Marketplace,” ungkap Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah dan Perindustrian, Herliansyah, Rabu (21/10/2020) lalu.
Menelusuri lebih dalam, dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan, faktanya Pemkab OKI menggelontorkan dana lebih besar di bidang infrastruktur dalam berinvestasi.
Jika anggaran tersedia, porsi penanganan untuk komunitas usaha kecil tersebut, hampir sebanding dengan biaya rutin kantor Diskoperin itu sendiri.
Praktis, ekspoitasi kekurangan tersebut menjadi budaya klasik, untuk menutupi ketidakmampuan penyelenggara negara daerah dalam menjaga komunitas UMKM dari ancaman kebangkrutan.
Melihat angka bantuan stimulan yang digelontorkan untuk 17.523 pelaku UMKM. Jumlah tersebut, tentu dapat menggambarkan potensi usaha kecil cukup besar.
Sebelum pandemi Covid-19, UMKM hanya dilirik saat berlangsungnya seremoni tertentu. Sehingga tak jarang, dalam ajang pameran, atau momen tertentu, bertebaran display produk palsu.
Cukup dengan modal pembungkus sekaligus berfungsi sebagai wadah produk, pencitraan keberhasilan UMKM dimulai. Meski tidak semua, namun praktik ganti sampul ini kerap terjadi lantaran ketiadaan produk UMKM itu sendiri.
Mereka ditinggal sendirian dalam menjalankan usaha, sehingga disaat membutuhkan bantuan pemasaran. Misalnya pemda tak mampu memberikan solusi.
Parahnya, dinas terkait ikutan gagap lantaran disibukkan oleh keterbatasan yang tidak dapat diselesaikannya sendiri.
Pagebluk Covid-19 bisa dikatakan keberkahan sekaligus harapan bagi UMKM. Dampak berkepanjangan Corona, merubah kebiasaan untuk bertemu langsung.
Jika pun diharuskan keluar rumah, harus mematuhi protokol kesehatan. Perubahan tatanan hidup normal berdampingan dengan Covid-19 memicu kebiasaan baru.
Pengguna gawai meningkat tajam. Ponsel pintar tidak lagi hanya sebagai sarana komunikasi saja. Kemudahan akses internet dewasa ini, merupakan celah bagi UMKM untuk mengatasi pemasaran terutama di masa pandemi Covid-19.
Kembali lagi, campur tangan pemerintah daerah dalam mewujudkan digitalisasi UMKM menjadi pertaruhan disini.
Keberpihakan pemda memperjuangkan dengan sesungguh hati atau hanyalah sekedar retorika dari masa ke masa saja.
Bila demikian, wacana tersebut hanya seperti dongeng pengantar tidur. Menebar keindahan semu tanpa pernah sekalipun terlihat nyata.
Keseriusan serta dukungan penuh berbagai instansi dalam upaya penetrasi UMKM untuk berkiprah di pasar domestik maupun global dapat menyatukan kekuatan.
Membangun marketplace tidak dapat dilakukan sendirian. Banyak yang terlibat dalam urusan marketplace. Mesti dikerjakan secara inklusif yang membutuhkan kerjasama lintas instansi.
Jangan sampai, berbagai ide dan gerak langkah pemangku kepentingan dalam ikhtiar membantu UMKM menapak ekosistem , hasilnya selalu mentok di tengah jalan.
Kendati bukan penyebab utama, namun kegagalan tersebut disebabkan keterbatasan dana sebagai penggerak untuk berekspansi lebih jauh perlu dikaji kembali.
Apalagi konon anggaran penanggulangan Covid-19 tidak sampai separuh terserap. Anggaran ratusan miliar tersebut sangat memungkinkan dijadikan kekuatan.
Berbagai payung hukum bahkan telah mengakomodir inisiatif pemda untuk berbuat lebih jauh sebagai upaya lokal mengatasi dampak pandemi.
Terkait anggaran hasil Re-focusing ini, penyelenggaraan program dengan akuntabilitas, sebagaimana yang sering memenuhi ruang publik. Kewajiban Pemkab OKI menjelaskan penggunaan anggaran ke tengah khalayak ramai.
Termasuk juga menjelaskan pemicu rendahnya serapan anggaran, sebagaimana diungkapkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian beberapa waktu lalu.
Selain memang merupakan hak publik, juga membuktikan kepemimpinan Iskandar-Shodiq berjalan diatas transparansi anggaran. Hal terbaik ini merupakan suatu prestasi sekaligus menjadi bekal yang bila diperlukan pastinya sangat berguna dalam pelaksanaan suksesi pemimpin daerah kelak.
Hal penting lainnya, kiranya perlu diskresi khusus atau pembenahan untuk mencairkan benturan ego sektoral. Bila itu terjadi, sedikit banyak hal tersebut berpotensi menciptakan kerumitan tersendiri. Segera dibenahi. Bila diperlukan, dibentuk tim khusus pemulihan dan digitalisasi UMKM.
Kita tentunya tak ingin seperti kacang pada kulit. Bagaimana pun juga, UMKM sudah memberikan kontribusi nyata terhadap negeri ini. Masa krisis ekonomi tahun 1998 lalu, sektor ini mampu bertahan dalam sehingga menyelamatkan negara dari keterpurukan ekonomi yang lebih dalam.
Tanpa bantalan UMKM tersebut, kita belum tentu dapat melaju seperti sekarang. Lalu, rasanya tidak pantas membiarkan UMKM terpuruk hanya lantaran teknologi yang mereka miliki jauh tertinggal (*)