Penulis: Doni Febriansyah, S.E.
Penulis adalah Sektetaris Majelis Pakar MD KAHMI Lahat
Demokrasi merupakan tema kajian yang paling banyak menyita perhatian public, bahkan semenjak feodalisme mengalami krisis kepercayaan sebagai suatu sistem politik dan pemerintahan. Nomenklatur demokrasi selalu dijadikan diskursus oposan, sebagai opsi alternative untuk menggantikan sutu tatanan yang usang. Berdasarkan varian nya, demokrasi terbagi menjadi beberapa bagian, diantarnya demokrasi liberal dan demokrasi sosialis.
Untuk mencapai iklim demokratis, dibutuhkan sebuah medium untuk mengekspresikan wacana kemudian dimanifestasikan sebagai suatu kebijakan public. Kekuatan massa yang dihimpun melalui sebuah lembaga perserikatan, yang kemudian dikenal sebagai entitas partai merupakan salah satu cara mengimplementasikan agenda perubahan social, dikarenakan perubahan tersebut tidak terjadi secara spontan, maka perlu adanya agenda setting sebagai alat rekayasa social.
Sejatinya masyarakat sipil yang memiliki identitas otonom. Terbuka, mandiri dan plural, dapat juga difungsikan sebagai perangkat rekayasa social diwilayah arus bawah (Otta, 2010: 499).Namun dikarenakan tataran supra struktur, dibutuhkan legitimasi power untuk mengelola dan menerapkan point point relugasi menjadi tindakan konkrit, maka partai politik dijadikan wahana social untuk mencapai tujuan tersebut melalui pemangku kebijakan.
Dalam demokrasi negara modern, identitas partai politik bukanlah hal yang mainstream, selain dikenal sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan birokratis, partai politik bertujuan secara umum : meningkatkan partisipasi politik masyarakat, membangun cita cita parati poliitk, membangun etika dan budaya politik, kemudian secara fungsi, partai politik aalah : sebagai sarana edukasi politik, menciptakan iklim kondusif dalam bermasayarakat dan bernegara, sarana penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik dalam merumuskan dan menentukan kebijakan negara, poin terakhir sebagai partisipasi politik warga negara.
Partai politik yang hadir di awal awal periode pergerakan nasional, merupakan rolemodel dari entitas yang bernama partai politik. Partai politik di masa itu menedepankan prioritas edukasi politik, partisipasi kolektif dan wahana serap, tampung dan penyalur aspirasi masyarakat, wajar bila militansi kader hingga loyalis partai siap berjuang all out untuk mengikuti agenda partai, baik aksi demonstrasi atau pemogokan, konsolidasi atau bahkan sekedar mengadiri orasi dari figure partai.
Pemilihan umum (PEMILU) sering dianggap Sebagian besar pihak sebagai bentuk berdemokrasi, melalui penyaluran suara pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif. Ajang pemilihan anggota dewan beserta tingkat pemerintah daerah sampai nasional di rentang waktu lima tahun sekali, dilabeli sebagai pesta demokrasi rakyat, karena melibatkan berbagai lapisan sosial untuk berpartisipasi memeriahkan hajat tersebut.
Semenjak diadakan pemilihan langsung pada tahun 2004 sampai PEMILU di periode terkahir, semarak pemilu berhasil menyita atensi public, hal ini dapat dilihat dari seputar topik berita yang marak muncul di televisi, media cetak hingga media sosial, sehingga memicu pembahasan yang menarik, baik dari tingkat tongkorangan warung kopi hingga level structural birokratis. Di lapisan akar rumput, obrolan mengenai politik, agaknya masih tabu dan sensitive, karena dapat berdampak pada dikotomi golongan, masih segar di benak masyarakat Indonesia, pada pemilu 2019 lalu, penggolongan pihak pemilih pasangan calon presiden terbelah menjadi dua kelompok, yaitu cebong dan kampret, perdebatan antar dua kelompok tersebut sarat akan sinisme bahkan berpotensi permusuhan.
Peran penyelenggara PEMILU selaku instansi formal yang memiliki legitimasi untuk menjamin berlangsungnya proses pemilihan yang kondusif dan akuntabel, harusnya mampu meredam dan mengedukasi masyarakat untuk tidak terjebak pada sentiment. Jika saja proses sosialisasi dan mediasi tersebut dijalankan oleh pihak penyelenggara PEMILU maupun melibatkan mitra sinergis , maka konflik horizontal antar masyarakat selaku pemilih PEMILU tidak akan berlarut-larut dan dapat dewasa menyikapi fenomena politik. Peristiwa polarisasi di segmen PEMILU belakangan, merupakan bentuk evaluasi menghadapi periode lanjutan yang berlangsung rutin dalam proses kontestasi politik di Indonesia, karena dalam kurun waktu yang tidak lama lagi agenda per lima tahunan tersebut bakal berlangsung, tentu harapan besar dari seluruh masyarakat menghendaki bahwa ajang pemilihan wakil rakyat dan pemimpin di pemerintahan dapat terlaksana secara ideal. Agak keliru rasanya menyatakan bahwa PEMILU dikatakan pesta demokrasi bagi masyarakat, mengingat banyaknya catatan hitam dari proses berlangsungnya di periode terakhir, lebih tepatnya seremoni tersebut dikatakan sebagai proses pseudo demokrasi, karena banyak kesemuan dalam kesemuanya.
Di setiap negara yang menganut demokrasi, mekanisme pemilihan wakil rakyat dan pemimpin pemerintahan dilangsungkan secara pemilihan, masyarakat diminta untuk memilih nominasi calon yang telah lulus verifikasi berdasarkan regulasi yang ditetapkan pihak penyelenggara. Berdasarkan asasnya, Indonesia menganut 6 Point dalam pelaksanaan PEMILU, yaitu: Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil. Pada pelaksanaan nya, pemilihan secara langsung, umum dan rahasia dapat berjalan kondusif, namun pada asas kebebasan, kejujuran dan keadilan banyak terjadi kasus pelanggaran. Sebut saja missal praktik iming-iming hadiah maupun gratifikasi dengan uang, untuk mempengaruhi pemilih menjatuhkan pilihan kepada nominasi calon tertentu, praktik gratifikasi ini menciderai asas kebebasan dalam pemilihan karena si pemilih mendapatkan intervensi melalui uang, ditambah lagi masyarakat arus bawah masih bermental permissive sehingga rentan terpengaruh oleh bentuk transaksional.
Disisi lain, pembudayaan transaksional pada pemilu dalam bentuk penyogokan, mendidik masyarakat bahwa pemilu merupakan ajang sawer suara dan dampak destruktifnya terhadap mentalitas kolektif adalah memperbesar libido oportunistik. Kasus kejujuran juga menjadi objek sorotan, terkhusus kepada pihak penyelenggara, yang rawan melakukan kecurangan dalam hal penggelembungan suara, red notice terhadap seleksi calon penyelenggara yang sudah terkooptasi netralitasnya karena sengaja dipasang oleh kandidat calon untuk dapat mengakomodir kepentingan. Sedari awal harusnya tim seleksi dapat menetapkan verifikasi yang ketat untuk memonitor rekam jejak dan keterkaitan khusus calon penyelenggara, agar dapat terhindar dari kasus pelanggaran PEMILU dan mengantisipasi keberpihakan terhadap golongan calon yang berkontestasi, indikasi kecurangan terbesar dapat terjadi dalam internal penyelenggara, dikarenakan legitimasi dan privasi pihak penyelenggara dapat berpotensi melakukan manipulasi. Suatu implikasi yang kuat atas marak terjadinya kasus kecurangan dalam hal kejujuran, hal ini akan berdampak langsung pada aspek keadilan, pasti ada pihak yang dirugikan akibat pelanggaran tersebut dan mempengaruhi kekacauan system kepemiluan.
Berdasarkan laporan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) sepanjang PEMILU 2019 per tanggal 4 November 2019, terdapat 4 kategori pelanggaran bersarkan intensitas nya, adapun kriteria nya sebagai berikut : pelanggaran administrasi terdapat 16.134 kasus, pelanggaran kode etik sebanyak 373 kasus, pelanggaran pidana 583 kasus dan pelanggaran hukum lainya sebanyak 1475 kasus (https://www.bawaslu.go.id). Dari penjelasan tersebut banyak sekali kasus pelanggaran yang merongrong iklim demokrasi di Indonesia, besaran volume kasus tersebut menandakan bahwa terdapat kesalahan secara sistemik, artinya penyebab tingkat fatalitas tersebut dilakukan oleh sindikat yang bergerombol, memanfaatkan momentum PEMILU sebagai ajang panen raya anggaran untuk dinikmati segelintir pihak. Terjadinya fenomena ini bukan terjadi tanpa sebab, ongkos pencalonan yang tinggi dan lazimnya budaya korupsi mempengaruhi perilaku politik dari pihak penyelenggara maupun kandidat. Pihak kandidat yang memiliki keterbatasan anggaran, mengharuskan mencari donatur untuk mensuplay kas finansial yang diperuntukan untuk mendanai biaya kampanye, memobilisasi TIMSES, belanja inventaris asset dan secretariat pemenangan, serta menjalin mitra jaringan kerja , sedangkan pada sisi penyelenggaraan, calon panitia yang hendak mendaftar tentu harus memiliki garantor, ataupun patron agar dapat memfasilitasi perjalanan proses hingga penetapan final.
Dikutip dari laman litbang kemendagri, ongkos pencalonan legislative dari tingkat daerah hingga nasional memakan biaya paling minimal dari tarif ratusan juta jingga miliaran, Adapun rincian nya sebagai berikut ; biaya minimal untuk tingkat DPR RI senilai 1-2 miliar, tingkat DPR Provinsi 500 juta-1 miliar, dan tingkat kabupaten kota senilai 250-300 juta.
Sedangkan untuk pembiayaan kepala daerah tingkat bupati/walikota dan gubernur menghabiskan anggaran sebesar 20-30 miliar untuk tingkat kabupaten/ kota, dan biaya sebesar 20-100 miliar untuk tingkat provinsi . Angka fantastis tersebut cukup absurd untuk digunakan sebagai modal pencalonan, apalagi tiidak menjamin determinasi final, wajar saja jika angka korupsi di tataran birokrasi menjadi kasus terbanyak, karena modal yang terlalu tinggi tersebut bukan diperuntukan dana amal maupun sumbangan kedermawanan, pasti ada misi latensi untuk mencari keuntungan melalui kekuasaan ataupun balas budi berupa konsesi kepada pihak donatur. Secara rasional, fakta objektif ini bagaikan anomaly, pemimpin dan dewan yang menempati posisi strategis structural kenegaraan yang harusnya mengabdi pada pelayanan public, tapi harus mengeluarkan biaya mahal untuk mendapatkan mandat tersebut.
Belakangan ini muncul opini dan usulan tentang perubahan mekanisme PEMILU dari proporsional terbuka menjadi Proporsional tertutup, banyak pihak yang telah mengutarakan pandangan nya baik yang pro terhadap yang terbuka maupun tertutup, beserta rasionalisasi dan pertimbangan yang menjadi landasan nya. Missal saja ada pihak yang mengatakan bahwa jika menggunakan pola proporsional tertutup, mandataris penentuan delegasi dewan berada pada hak preogratif partai, sehingga kuota yang akan diprioritaskan kepada kader ideologis, sekaligus dapat menekan persaingan terbuka dengan kekuatan uang sebaagi indicator kekuatan nya. Sedangkan dari perspektif pihak yang pro terhadap konsep proporsional terbuka, menyoroti potensi berbahaya otoritatian partai selaku pemegang kekuasaan dalam pendelegasian calon, karena rawan sekali menjurus pada praktik nepotisme kepada pihak yang dianggap dekan dengan petinggi partai sekaligus memberikan control ketat partai atas anggota, maka resiko tersuborinasi nya kader partai atas atasan semakin kuat.
Mari coba kita timbang konsideran jika kedua pandangan tersebut terealisasi, untuk tahap pertama kita uji pandangan tentang mekanisme proporsional terbuka yang telah berjalan sejak PEMILU 2004, anggota dewan yang terpilih dinilai dari perolehan suara terbanyak dan berhak mendapatkan kuota kursi di parlemen, sejauh berlangsungnya proporsional terbuka ini, kira kira dampak konstruktif apa yang dimunculkan para anggota dewan yang diamanahkan menduduki posisi strategis tersebut terhadap daerah pilihan nya (DAPIL), apakah cukup sebatas reses, penyaluran dana bantuan, mengawal pembangunan infrastruktur dan kualitas pengembangan masyarakat, jika hanya sebatas itu saja, bukan kan hal tersebut sudah menjadi tugas wajib seorang anggota dewan kepada DAPIL nya?. Coba sejenak kita review kebelakang baik di tataran nasional dan daerah, pengesahan Undang Undang yang berpotensi merugikan masyarakat pada point point pasal nya, adakah dewan di dapil kita yang dengan lantang menentang untuk meminta di tinjau ulang ataupun mengusulkan aspirasi dari bawah, supaya memperjuangkan regulasi yang relevan berdasarkan alanisa kebutuhan prioritas masyarakat nya. Untuk isu di daerah, berapa banyak suara yang disampaikan para dewan untuk melakukan advokasi probelmatika krusial di daerah, contoh saja di sector Pendidikan, Kesehatan dan pertanian, ketimbang banyaknya izin konsesi yang disahkan kepada pihak korporasi dan pelaku bisnis.
Beranjak dari Analisa penerapan proporsional terbuka ke proporsional tertutup, mari berandai andai sejenak, jika pemberlakuan mekanisme ini disahkan sebagai regulasi kepemiluan, sudah sejauh mana penjaringan kader partai yang berkualitas di tingkat kemasyarakatan dan proses kaderisasi partai dalam mengajarkan ideologisasi kepada partainya, karena pada tahap ini partai punya wewenang untuk mengutus kader terbaiknya sebagai representasi pelayanan public di tingkat parlemen. Partai politik secara jenjang kepengurusan memiliki tingkatan dari ranting sampai pengurus pusat, untuk tingkat ranting sebagai ujung tombak pergerakan, masih minim sekali jajaran partai yang telah lulus verifikasi menjalankan program kerja yang terintegrasi dari pusat untuk diterapkan di level kemasyarakatan. Catatan kritis juga tertuju kepada partai politik nasional yang kurang memperhatikan aktivitas program di tingkat ranting, seakan akan jenjang kepengurusan diperuntukan sebatas syarat administrasi, tanpa melihat peran dan fungsi di masing masing jenjang nya. Hendaknya dengan dibentuknya pengurus ranting di tingkat kelurahan, dapat dimanfaatkan sebagai metode menjalin hubungan emosional kepada masyarakat, dalam mensosialisasikan Pendidikan politik, mengadakan sekolah pergerakan, agenda rekayasa sosial sebagai upaya mendidikan masyarakat sipil menuju masyarakat yang sadar akan politik (Political society).
Berdasarkan dua perspektif diatas mengenai pro-kontra tentang mekanisme proporsional terbuka dan tertutup hanyalah sekedar preferensi-opsional, artinya baik antara mekanisme terbuka maupun tertutup tidak berdampak signifikan terhadap aturan mendasar mengenai tugas anggota parlemen, partai politik dan partisipasi dan wewenang masyarakat selaku pemilih langsung terhadap dewan yang mewakili DAPIL mereka. Partisipasi masyarakat selaku pemilih langsung, seharusnya mereka memiliki mandat yang kuat terhadap dewan di DAPIL bersangkutan, karena terpilihnya mereka melalui amanah suara yang dititpkan oleh masyarakat, bukan melalui peran langsung partai politik, tetapi berdasarkan Undang Undang yang berlaku, hak veto untuk me recall dilimpahkan kepada Partai anggota dewan bersangkutan.
Menurut ketentuan Undang Undang No 17 Tahun 2014 pada bagian ke lima belas tentang Pergantian Antar Waktu (PAW) atau hak recall Pasal 239 Ayat 1Poin C yang berisi pemberhentian yang dijabarkan pada Ayat 2 Poin E, bahwa hak pemberhentian diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan. Aturan yang termaktub pada Undang Undang tersebut jelas mengakibatkan disequilibrum relasi antara pemilih dengan anggota dewan perwakilan mereka, pada aturan ini juga mengakibatkan kontradiksi dan dilematis sikap anggota dewan yang mewakili DAPIL nya, bisa jadi ketika mereka vocal mengangkat aspirasi yang diajukan massa mereka, berbenturan dengan kepentingan petinggi partai, hal ini dapat berakibat pada pemberhentian, maka tekanan dari internal partai tak jarang mengharuskan anggota dewan menjadi jajaran Yes man di jajaran parlemen untuk mencari aman posisi. Idealita nya pemberian hak recall diberikan kepada masyarakat yang ada di DAPIL dewan bersangkutan, jadi para dewan bertanggung jawab secara langsung atas mandataris suara yang mereka peroleh, maka jika hal tersebut berlaku, tidak ada lagi anggota dewan yang bertindak out of the track dalam menjalankan fungsi sebagai perwakilan rakyat di parlemen. Ketika mereka dianggap tidak layak dan tidak mampu mengakomodir urgensi kebutuhan masyarkat, maka masyarakat di DAPIL bersangkutan bisa menggalang petisi dan usulan pemberhentian dan melakukan pemilihan ulang untuk menggantikan kekosongan jabatan.
Sebagai refleksi dari study komparasi penerapan hak recall, di negara bagian Oregon , Amerika Serikat, penerapan regulasi pemberhentian dewan perwakilan dilimpahkan kepada masyarakat di DAPIL bersangkutan, jadi otoritas dan hak partisipasi langsung yang mengikat relasi antara masyarakat dengan anggota dewan maupun pemerintah daerah terjalin secara kuat. Aturan hak recall di negara bagian Amerika tersebut, meliputi anggota legislative dan eksekutif, jikalau petisi usulan recall menyentuh presentase maksimal, maka akan dilangsungkan popular vote untuk menggantikan kekosongan delegasi di sisa masa waktu periode jabatan (Bagja, 2020 : 66).
Penulis menyarankan Daripada berkutat membahas tentang opsi proporsional terbuka dan tertutup, baiknya membahas dan mengkaji tentang skala urgensi-substantif mengenai perbaikan regulasi yang mengatur relasi sosial antara anggota dewan dan pejabat pemerintah dengan masyarakat yang memiliki hak veto langsung, serta mengajukan restrukturisasi-rasionalisasi kepada partai politik untuk meningkatkan fungsi sosial control, agen aspirasi masyarakat serta peran pentingnya mendidik masyarakat sadar politik dan memposisikan masyarakat sebagai mitra strategis menjalankan prinsip demokrasi.
Referensi
https://www.bawaslu.go.id
https://news.detik.com/berita/d-5270765/kutip-data-kemendagri-kpk-paparkan-biaya-calon-kepala-daerah-capai-rp-100-m
Gluckstein, Donny. (2011). Paris Komune : A Revolution In Democracy. Chicago. Haymarket books.
Mintz, Jean S. (1965). Mohammad, Marx and Marhaen, The Roots of Indonnesian Socialisme. New York. Frederick A Preager Publishers.
Otta, Yusno Abdullah. Madinah dan Pluralisme sosial : Study atas kepemimpinan Rasullulah. Jurnal Al-Syir’ah Volume 8, No 2. (2010)
Subagja, Ari. (2020). Hak Recall Oleh Partai Politik Terhadap Anggota Parlemen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia.