MATTANEWS.CO, PURWAKARTA – Puluhan warga pemilik tanah blok Cijengkol, Desa Mulyasari, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang lakukan aksi unjuk rasa (unras) di Kantor Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta, Senin (06/02/2023).
Aksi yang dilakukan oleh puluhan warga yang didampingi langsung kuasa hukum warga warga H Elyasa Budiyanto, SH tersebut, tidak lain mempertanyakan atas dikalahkannya oleh putusan Mahkamah Agung RI No 1810/Pdt/2022 tanggal 16 September 2022, disebabkan banyak hal aneh dalam putusan tersebut.
Kuasa Hukum warga H Elyasa Budiyanto, SH mengatakan kedatangannya apapun ceritanya, penguasaan-penguasan fisik kami itu dikuatkan oleh Desa Mulyasari dan Kecamatan Ciampel adalah bukti-bukti kuat kami.
“Penguatan itu telah kami menangkan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,” ujarnya pada media Senin (06/02/2022).
Kata dia, oleh sebab itu kami datang kemari ini menanyakan kembali, memang sudah ke Mahkamah Agung. Tapi kami memohon kembali bahwa hak-hak rakyat mohon untuk bisa dihargai dan diterima.
“Sebab kalau tidak, maka titik extreamnya kami akan duduki Mahkamah Agung dengan masyarakat. Ingat kalau putusan ini kami tidak PK. Maka mereka bisa dikatakan PMH (Perbuatan Melawan Hukum), merusak tanah negara dan merugikan tanah negara,” ucapnya.
Elyasa Budiyanto melanjutkan, kalau tidak PK bagaimana nasib warga ini, mereka bisa di katakan PMH. Mereka dikenakan denda sebesar Rp.5 juta perhari atas ketidakpatuhan hukum dan Rp.1,9 miliar denda immaterialnya kepada masyarakat.
“Ada putusan MAnya, ke 4 warga ini selaku pemilik tanah dan tanah tersebut diakui oleh perhutani,” kata Elyasa.
Kemudian, merekapun mengklarifikasi sejauh mana kepemilikan tanah mereka (Perhutani.red). Kami mohon kalau mereka tidak memiliki bukti kepemilikannya, coba klarifikasi ke MA terhadap sidang PK ini.
“Ingat putusan MA itu hakimnya di tangkap KPK loh,”ujarnya.
Adapun isi dari Peninjauan PK (Peninjauan Kembali) oleh warga melalui kuasa hukumnya dengan No Register 1365 PK/PDT/2022 Tanggal 22 November 2022 dengan isi sebagai berikut;
1. Putusan Pengadilan Negeri Karawang No 67/Pdt.G/2021/PN.Kwg Tanggal 17 November 2021 dan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No 682/Pdt/2021/PT Bdg Tanggal 27 Januari 2022 yang telah memenangkan masyarakat pemilik tanah, tentunya dengan bukti-bukti yang telah ditunjukan dalam persidangan di PN Karawang berupa validasi girik/kikitir oleh Kepala Desa Mulyasari da Camat Kecamatan Ciampel Tanggal 08 April 2013.
2. Dalam pertimbangan Majelis Hakim MA dikarenakan Judec Factie yang salah. Maka, Majelis Hakim MA menerapkan hukum dengan pertimbangan, sesuai Pasal 23 Ayat 1 PP No 24/1997 bahwa bukti kuat atas tanah adalah SHM (Sertifikat Hak Milik). Padahal dari pihak perhutani tidak memiliki sertifikat, girik/kikitir saja tidak mereka miliki. Malahan mereka hanya mensadur dari sebuah cerita.
3. Dalam putusan MA masyarakat diwajibkan membayar uang paksa (dwangsom) Rp.5 juta setiap hari setiap lalai melaksanakan putusan dan denda secara materil dan Immateril Rp 1,9 Miliar.
Elyasa Melanjutkan, diluar pengadilan datanglah ke lokasi sana dan lihatlah bukti-bukti fakta ini, dan warga-warga ini benar engga mereka bertahan dari bercongkol dari semenjak 1960.
“Yang pasti disini ada girik yang sudah divalidasi pada 2013 oleh desa dan kecamatan, sudah disahkan keberadaannya. girik itu semacam pajak. Tetapi bahwa hari ini mereka sudah menjadi sah kepemilikannya sesuai dengan PP No 24 tahun 1997 pasal 24, yang mengatakan bahwa 20 tahun menguasai tanah dan dikuatkan dengan bukti-bukti yang ada, mereka itu berhak atas lahan tersebut dan memiliki sertifikat, diakui kepemilikannya.
“Sementara keputusan dari mahkamah agung dikatakan PP 24 tahun 1997 pasal 32, kami 24. Bahwa kepimilikan yang kuat ada sertifikat artinya, mereka lebih dahulu di utamakan keberadaannya dan itu diarsip oleh desa dan kecamatan lho. Mereka ini tiap tahun bayar, lalu kalau tidak membayar pajak dan tidak bukti kepimilikan lahan lalu apalagi? Desa camat sudah mengakuinya, kalau mau yah proseskan sertifikat,” pungkasnya.
Sementara Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) melalui Kaur Hukum dam Agraria Yayat Sudrajat, SH mengatakan Kedatangan dari kecamatan ciampel itu masyarakat yang berlokasi di petak 25. Mereka datang meminta bukti-bukti dan bukti-bukti tersebut katanya ada sertifikat.
“Karena itu bukan sertifikat, kalau perhutani itu adalah berita acara tata batas, kasus ini sudah dari tahun 2020 sampai sekarang. Karena memang sudah ada putusan MA,” ucap Yayat.
Ditanyakan soal luas yang disengketakan dan bukti dari pihak perhutani sendiri. Yayat menerangkan sekitar 16 hektare dan bukti masyarakat yang miliki itu adalah letter c ada AJB dan ada SKD (surat keterangan desa). Dan kalau perhutani itu adalah berita tata batas dan surat keterangan dari kementerian, semua sudah komplit.
“Untuk Proses hukumnya. Nah itu terserah, karena kan sudah ada putusan dari MA karena dia menyerahkannya untuk membuktikan PK,” ujar Yayat.
Kata Yayat Jadi perlu diketahui tanah itu adalah tanah negara yang dikelola sesuai PP 72, kita sebagai pengelola kawasan hutan.
“Kami juga heran yang mengemuka itu tahun 2020, kalau sudah ratusan tahun apa-apa kan harus secara logika ya. Apa sih ratusan tahun itu, kalau kami hanya pelimpahan saja sebagai pengelola,” kata Yayat.
Sebagai penutup dirinya mengatakan bahwa pihaknya tidak membawa bukti apa-apa, dan tiba-tiba saja ada aksi demo ini. Namun, Alhamdulillah permintaan tanggapan dari warga ini masih bisa kondusif.