[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Klik Disini Untuk Mendengarkan Berita”]
MATTANEWS.CO, ACEH TAMIANG – Kuasa Hukum tujuh warga Aceh Tamiang, yang mempermasalahkan SK Gubernur Aceh No PEG.821.22/059/2021, terkait pengangkatan Sekda Aceh Tamiang, menyebutkan Seleksi Sekda Aceh Tamiang ‘langkahi’ PP 58/2009, Rabu (23/6/2021).
Menurut Bambang Antariks, sungguh menyesatkan jika PP No 58 Tahun 2009, tidak dijadikan landasan hukum didalam menentukan syarat, proses seleksi dan pengangkatan Sekda Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
“PP tersebut lahir sebagai amanah langsung dari UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya Pasal 107, dimana dalam pasal itu, tertera ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Aceh dan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Pemerintah,” ungkap Bambang.
Dalam PP Nomor 58 Tahun 2009 itu, memuat tentang persyaratan dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian sekretaris daerah Aceh dan sekretaris daerah Kabupaten/Kota di Aceh, terlebih dahulu harus mengikuti ketentuan PP tersebut.
“Artinya, bahwa jika ada hal-hal yang belum diatur didalamnya, baru mengikuti ketentuan lain, seperti PP No. 17 Tahun 2020, bukan sebaliknya,” jelas Bambang.
Dikatakan salah satu praktisi hukum ternama di Aceh Tamiang ini, Provinsi Aceh, bukan provinsi lain yang memiliki aturan khusus dan istimewa. Jadi jangan menyatakan ke publik, bahwa pemilihan Sekda kabupaten/kota di Aceh, dalam pelaksanaanya dapat dipilih antara norma PP No. 58 Tahun 2009 atau menggunakan PP No 17 Tahun 2020.
“Ini merupakan penghianatan terhadap UU No 11 Tahun 2006,” urainya.
Dirinya menjabarkan, bahwa syarat untuk menjadi Sekda Aceh Tamiang sebagaimana ditentukan dalam PP No 58 Tahun 2009 dikutak-katik, agar calon Sekda yang tidak memenuhi syarat bisa diluluskan dengan pembenaran memakai aturan lain.
“Maksudnya, ketentuan dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d, PP No. 58 Tahun 2009, yang mensyaratkan pernah menduduki jabatan eselon IIb di dua tempat berbeda, tapi itu tidak tidak diberlakukan oleh panitia seleksi,” papar Bambang.
Menurut Bambang, syarat minimal menduduki jabatan fungsional ahli madya, minimal 2 tahun, sebagaimana disebut dalam PP 17 Tahun 2020. Syarat ini kemudian disunat menjadi 1 tahun. Inilah fakta yang terjadi dalam proses seleksi Sekda Aceh Tamiang.
“Belum lagi masalah kompetensi calon. Masa calon Sekda yang sudah pernah menduduki jabatan eselon IIb di lebih dua tempat berbeda, sudah ikut Diklatpim tingkat 2, berijazah S2, bisa dikalahkan dengan calon Sekda yang belum menjabat 2 tahun pada posisi eselon IIb, dan baru sekali menjabat diposisi tersebut serta belum ikut Diklatpim tingkat 2,” bebernya.
Yang menjadi persoalan, kata bambang, Ada apa ini? masyarakat awam tentu bisa menilai apa yang terjadi dengan proses seleksi Sekda Aceh Tamiang.
“Jika ada pihak-pihak yang tidak rela mematuhi ketentuan pada PP nomor 58 Tahun 2009, silahkan menjadi Sekda di luar Provinsi Aceh. Karena mereka ini pantas disebut sebagai penghianat UU No. 11 Tahun 2006,” paparnya.
Secara blak-blakan, Ia menyebutkan, Gubernur selaku pejabat pembina kepegawaian di Aceh, mesti melakukan evaluasi terhadap kinerja bawahannya. Berbahaya ini bila dibiarkan.
“lebih aneh lagi, pada proses pemilihan Sekda Aceh Tamiang sebelumnya, dipakai PP No. 58 Tahun 2009, tapi untuk sekda sekarang tidak digunakan, tapi ada kabupaten/kota lain di Aceh, PP No. 58 Tahun 2009 tetap dijadikan pedoman utama, bersama dengan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai pelengkap,” urai Bambang.
Bambang menambahkan, selain diskriminatif, tentunya terdapat sesat pikir yang berdampak kepada cacat subtansi atas SK pengangkatan Sekda Aceh Tamiang.
“Untuk diketahui, bahwa pada konsideran mengingat SK Gubernur Aceh No. PEG.821.22/059/2021 tentang Pengangkatan Sekda Aceh Tamiang tanggal 29 April 2021, disebutkan PP No. 58 Tahun 2009 menjadi salah satu landasan yuridis keputusan dimaksud,” tuturnya.
Selain itu, secara subtansi proses seleksi Sekda Aceh Tamiang harus mengikuti ketentuan yang ada dalam PP No. 58 Tahun 2009. Jika kontradiktif antara subtansi dengan keputusan, maka cacat hukumlah produk hukum dimaksud.
“Jadi wajar jika ada warga Aceh Tamiang yang memohon pencabutan SK Gubernur Aceh tentang Pengangkatan Sekda Aceh Tamiang No PEG.821.22/059/2021 yang dinilai cacat hukum tersebut, dan meminta diterbitkan SK Gubernur Aceh yang baru, dengan menetapkan Sekda yang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam PP No. 58 Tahun 2009, yaitu Ir Adi Darma,” pungkasnya.