Oleh: Dr. Mohammad Syawaludin
Evolusi dalam kaitan ini tidak dimaksud untuk mendiskusikan tradisi pemikiran yang berkembang
dalam teori evolusi menjadi landasan ilmiah bagi berbagai ideologi seperti komunisme, fasisme
dan rasisme dan memusuhi agama.
Tetapi hanya untuk menjelaskan terjadinya proses tumbuh dan
berkembangnya suatu “ide” menjadi ideologi tertentu secara global.
Isu tentang mahasiswa dan evolusi ideologis dalam gerakan, akhir-akhir ini gencar mewarnai
wacana dan perdebatan di kalangan akademisi dan analiis pertahanan.
Bagi kalangan aktivis
sosial yang biasa bergiat di sektor NGO/Ornop, evolusi ideologis yang terjadi dalam mahasiswa
dilihat sebagai suatu pilihan aktivisme yang relevan dengan konteks perubahan demokrasi dan
kekuasaan yang secara pekat didominasi oleh ideologi dan praktik- praktik neoliberalisme.
Dalam konteks yang demikian mahasiwa sering disebut agen perubahan, agen ilmu pengetahuan, agen pembangunan, agen politik moral dan agen transformasi social, sejalan saja dengan aktivisme yang
hidup di lingkungan mereka.
Berbagai predikat “agen” pada mahasiswa tentunya tak lepas dari tarik ulur dari ruang ideologis
yang hidup dalam aktivitas mereka. Sebab sistem dunia saat ini tidak bisa lepas dari globalitas
yang ditandai dengan perebutan pengaruh ideologi yang secara bersamaan menyatu dengan budaya media.
Media sering menjadi alat dan wahana membumikan simulasi ideologi, lebih jauh media
sangat efektif membudayakan praktek-praktek ideologi tertentu. Harus di akui ideologi tak sekedar
menggiring perilaku namun juga menjadi falsafah bertindak seseorang.
Bisa dikatakan ideologi
bergerak dari sisi realitas ke sisi hyperrealitas dan dari sisi kultural ke sisi struktural. Tanpa disadari
pergerakan idelogis seperti tersebut tentunya menemukan arena dan habitus didalam kehidupan
mahasiswa.
Evolusi ideologi pada mahasiswa tak bisa terlepas dari sejarah perkembangan ideologi
dunia global, hal ini bisa dicermati dari perubahan dan kontestasi sistem politik didalamnya. Sebut
saja evolusi ideologi di awali dari sistem kekuasaan raja menjadi negara bangsa.
Dari oligarkhi ke monograkhi menuju demokrasi. Namun dari sisi ideologi itu sendiri perubahan itu terjadi seturut dengan perluasan wilayah dan lahirnya berbagai konsep tentang kekuasaaan, negara, keadilan, ekonomi dan tatanegara.
Berawal dari ideologi tangan besi berazas militerisme mussolinesme berkembang ke hilterisme, berlanjut ke idelogi berbasis pada kekuatan kelas bawah yakni komunisme berkembang menjadi sosialisme yang berhadapan dengan kapitalisme.
Di belahan lainnya juga muncul
kekuatan yang berbasis pada kebebasan yakni liberalisme dan federalism. Dalam perkembangannya ideologi-ideologi tersebut berhadapan dengan kultur dan perilaku berbagai
bangsa berbeda yang akhirnya melahirkan ideologi baru yakni teokrasi dan demokrasi.
Semua ideologi tersebut sangat dekat dengan kehidupan mahasiswa. Mengapa demikian, sebab bagi
mahasiswa ideologi dan politik merupakan bagian penting dari proses perubahan dan perjuangan
mereka. Kalau demikian, ideologi yang tumbuh dikalangan mahasiswa bisa di arahkan sebagai suatu kekuatan potensial politik yang memainkan peran moral, kultural kepentingan bangsa ini
serta keterbukaan terhadap artikulasi kepentingan dan agregasi.
Perjumpangan aktivitas
mahasiswa dengan berbagai ideologi global tersebut bisa saja terjadi secara latency dan integrative melalui berbagai cara baik pembelajaran, materi, maupun interaksi kegiatan lintas sectoral.
Pembacaan ideologi dalam arena dan habitus mahasiswa sesungguhnya suatu reproduksi
atau pengulangan praktek-praktek aktivitas di luar yang berusaha mempengaruhi, atau memberi
orientasi terhadap tindakan atau aktivitas mereka.
Karenanya perlu sistem filter yang bersifat enabling dan constraing untuk mengarahkan perilaku meraka, bukan untuk coercive maupun force apalagi mengatur aktivitas mahasiswa. Filterisasi dimaksud dibangun atas dasar tujuan student government, sharing, learning culture dan culture learning (pembelajaran dan pencerahan), namun tetap sebagai a prophetic minority.
Pembelajaran Pancasila harus mengikuti tantangan dan
perubahan zaman misalkan mulai dari membuat vlog yang menyiratkan nilai-nilai Pancasila, atau melakukan digital learning, dan lainnya yang tentunya bisa diterima dan cukup familiar di kalangan generasi milenial.
Secara kebangsaan, Pancasila, tentulah sangat penting untuk tetap menjaga eksistensi identitas kepribadian bangsa Indonesia secara utuh dan bermartabat.Implementasi Pancasila bagi mahasiswa adalah basis perubahan dan perjuangan mereka.
Implementasi Pancasila sebagai
paradigm kehidupan kampus tidak berbeda jauh dengan kehidupan bernegara karena pada
dasarnya tananan kehidupan di kampus memiliki kesamaan dengan tatanan negara. Jadi kampus
itu memiliki tatanan pembangunan seperti tatanan negara yaitu politik, ekonomi, budaya, hukum,
dan kehidupan beragama Oleh karena itu, hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi
pembangunan pengembangan kampus itu sendiri.
Pancasila merupakan moral, individu bangsa Indonesia dan karena telah ditetapkan sebagai dasar negara, maka Pancasila sekaligus menjadi
moral negara yang mengatur sikap dan tingkah laku setiap individu.Tak terlepas juga menjadi dasar bagi teologi aktivitas kemahasiswaan. Semisal pelaksanaan dari sila ke empat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijakanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan.
Penerapan di kehidupan kampus adalah suatu kebiasaan untuk melakukan musyawarah dan diskusi bersama terkait dengan berbagai hal merupakan cerminan yang tepat dalam implementasi : Rapat UKM,
Diskusi dalam kelas, Musyawarah penunjukkan ketua BEM dan setiap mahasiswa berhak memperoleh nilai sesuai dengan kemampuannya.
Setiap mahasiswa berupaya menghargai hasil karya orang lain dengan tidak mencontek atau membuat plagiat atas hasil karya . Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai fundamental norm dalam mengatasi segala persoalan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dan membentuk karater mahasiswa di kampus.